
Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Erma Rini saat memimpin Rapat Kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri Perdagangan Budi Santoso dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025). Foto : Farhan/Andri.
PARLEMENTARIA, Jakarta — Komisi VI DPR RI menegaskan pentingnya pengesahan ASEAN Sectoral Mutual Recognition Arrangement on Building and Construction Materials (MRA BCM) melalui Peraturan Presiden (Perpres). Ketua Komisi VI DPR RI Anggia Erma Rini menyebut langkah ini berpotensi memperkuat daya saing industri nasional di kawasan, sekaligus membuka akses pasar yang lebih luas bagi produk bahan bangunan dalam negeri.
“Bagi sektor industri Indonesia, ini adalah kesempatan besar. Selama ini kita punya produk bagus, sudah diuji di laboratorium nasional, tetapi tetap ditolak di negara tujuan. Dengan adanya pengesahan MRA BCM, hambatan semacam itu akan hilang,” ujar Anggia saat memimpin Rapat Kerja Komisi VI DPR RI dengan Menteri Perdagangan Budi Santoso dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025).
Menurutnya, dengan MRA BCM, hasil uji laboratorium Indonesia akan diakui di seluruh negara ASEAN. Hal ini terutama berlaku untuk komoditas baja, semen, dan kaca yang menjadi pilar utama sektor konstruksi. “Jika uji lab kita sudah diakui ASEAN, produk bisa langsung diterima. Jadi industri kita akan lebih leluasa dan kompetitif di pasar kawasan,” tegasnya.
Mewakili Komisi VI DPR RI, ia menekankan, agar kesepakatan internasional ini memiliki kepastian hukum, pemerintah perlu segera mengaturnya dalam bentuk Perpres. “Ini bagian dari alur pengambilan keputusan. Komisi VI mendukung agar Perpres bisa segera diterbitkan,” jelas Anggia.
Dalam forum tersebut, muncul isu di mana Indonesia masih melakukan impor emas meski kapasitas produksi nasional jauh lebih tinggi. Data yang dipaparkan menunjukkan, kapasitas produksi emas Indonesia mencapai 90 ton per tahun, namun PT Antam tetap melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan melting hingga 30 ton.
Kondisi ini dikhawatirkan merugikan pelaku industri kecil, karena harus menanggung biaya bahan baku yang lebih mahal akibat kebijakan impor. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan pemerintah akan melakukan kajian mendalam, termasuk opsi penundaan ekspor emas sementara waktu.
“Hal ini diperlukan agar tercapai keseimbangan melalui Domestic Market Obligation (DMO). Kita harus pastikan pasokan dalam negeri terpenuhi dengan harga wajar, dan program hilirisasi emas yang menjadi prioritas nasional bisa berjalan optimal. Oleh karena itu, hilirisasi harus dikelola dengan matang sesuai dengan arah kebijakan Presiden Prabowo” pungkasnya.
Sebagai informasi, Pengesahan ASEAN Sectoral Mutual Recognition Arrangement on Building and Construction Materials (MRA BCM) lewat Peraturan Presiden (Perpres) penting karena menyangkut langsung kepastian aturan di dalam negeri. Tanpa Perpres, kesepakatan internasional ini hanya berhenti di atas kertas, tidak bisa dijalankan secara nyata oleh kementerian atau lembaga terkait.
Dengan adanya Perpres, semua pihak, mulai dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, hingga Badan Standardisasi Nasional, punya pedoman yang jelas dan terikat untuk melaksanakan kesepakatan tersebut. Bagi industri dalam negeri, dampaknya sangat terasa. Selama ini, banyak produk bahan bangunan seperti baja, semen, atau kaca yang sudah lulus uji di laboratorium Indonesia, tetapi tetap ditolak di negara tujuan ekspor karena standar tesnya tidak diakui.
Akibatnya, pengusaha harus mengeluarkan biaya tambahan untuk tes ulang di luar negeri. Dengan adanya Perpres yang mengesahkan MRA BCM, hasil uji lab Indonesia otomatis diakui di seluruh negara ASEAN. Artinya, produk bisa langsung diterima tanpa repot pengujian ulang.
Keuntungan lain berupa biaya dan waktu produksi menjadi lebih efisien, peluang ekspor terbuka lebih lebar, dan daya saing produk Indonesia meningkat. Bagi konsumen, hal ini juga berarti kualitas barang dari Indonesia tidak kalah dengan produk luar karena sudah memenuhi standar regional.
Secara lebih luas, kebijakan ini bisa memperkuat posisi Indonesia di pasar ASEAN, menarik investasi baru, dan mendukung program hilirisasi agar produk Indonesia tidak hanya diekspor dalam bentuk mentah, tetapi juga dalam bentuk jadi yang bernilai lebih tinggi. Singkatnya, Perpres ini bukan sekadar aturan formal, melainkan menjadi “tiket masuk” bagi industri Indonesia agar lebih percaya diri bersaing di pasar ASEAN, sekaligus memastikan bahwa jerih payah produsen lokal tidak sia-sia hanya karena soal teknis uji laboratorium. •um/rdn