E-Media DPR RI

Perlunya Integritas Perempuan Pejabat Negara dalam Penanggulangan Korupsi dan Bencana

Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, saat mengikuti Seminar Perempuan Antikorupsi pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025 di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin (8/12/2025). Foto: Wilga/vel.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, saat mengikuti Seminar Perempuan Antikorupsi pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025 di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin (8/12/2025). Foto: Wilga/vel.


PARLEMENTARIA, Yogyakarta
 – Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan pentingnya peran perempuan pejabat negara dalam menjaga integritas dan memperkuat upaya pemberantasan korupsi, terutama di tengah penanganan bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hal itu disampaikannya usai mengikuti Seminar Perempuan Antikorupsi pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2025 di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin (8/12/2025).

Rieke menilai peringatan Hakordia memiliki kaitan erat dengan semangat perjuangan perempuan Indonesia, terlebih karena momentum ini berdekatan dengan Peringatan Hari Ibu 22 Desember, yang sejatinya merupakan penanda Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada Desember 1928 di Yogyakarta. “Ada korelasi historis bagaimana para perempuan pendiri bangsa berjuang agar Indonesia merdeka. Sekarang Indonesia sudah merdeka, maka kita harus menjaganya, terutama sebagai perempuan yang menjadi pejabat negara,” ujar Rieke.

Ia menegaskan bahwa jabatan publik bukanlah kebanggaan, melainkan amanah besar untuk melanjutkan cita-cita para founding mothers bangsa. Menurutnya, nilai perjuangan perempuan masa lalu harus tercermin dalam kerja-kerja integritas pejabat negara saat ini.

Dalam kesempatan itu, Rieke juga menyoroti situasi bencana yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera. Ia menyampaikan keprihatinan dan memberikan pesan keras terkait potensi penyimpangan anggaran penanganan bencana.

“Ini suasana sedang berduka. Jangan sampai uang untuk menangani bencana itu ada yang ‘makan’. Termasuk bantuan-bantuannya. Nauzubillah. Hari ini diasumsikan kebutuhan anggaran pemulihan, rekonstruksi, rehabilitasi itu sekitar Rp51,8 triliun. Itu uang besar,” tegasnya.

Rieke meminta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk tidak hanya menyampaikan angka secara asumtif, melainkan berdasarkan verifikasi dan pendataan yang akurat. Ia mendukung upaya pendataan yang sedang dilakukan bersama Kementerian Bappenas dan TNI AU untuk memastikan informasi mengenai daerah terdampak benar-benar valid.

“Data itu hal penting untuk menegakkan agar korupsi tidak terjadi. Kalau datanya salah, angkanya bermasalah, itu membuka ruang kuat untuk praktik korupsi,” jelasnya.

Rieke menutup pernyataannya dengan menekankan bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan tindakan nyata, bukan hanya wacana. “Korupsi itu bukan untuk diseminarkan, bukan untuk diteriakkan. Korupsi itu harus dilawan,” tegasnya.

Menurutnya, pembenahan data dasar negara menjadi langkah fundamental yang harus diperkuat, termasuk dalam sistem penanggulangan bencana nasional. Dengan data yang benar dan transparansi anggaran, peluang korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin. •we/aha