Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian. Foto: Tari/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa penanganan bencana banjir dan longsor di Sumatera membutuhkan pendekatan yang jauh lebih ilmiah, cepat, dan terkoordinasi. Ia menyoroti pentingnya riset dan teknologi untuk memastikan setiap langkah tanggap darurat dan pemulihan benar-benar menjawab kebutuhan di lapangan.
“Riset dan pendidikan harus menjadi garda terdepan penanganan bencana. Kita harus bisa cepat merespons, dan memahami akar masalahnya. Banjir ini adalah pengingat bahwa kelalaian kita menjaga tata ruang berkontribusi besar terhadap kerusakan yang terjadi,” tegas Hetifah melalui rilis yang diterima Parlementaria, Selasa (9/12/2025).
Dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Kepala BRIN Arif Satria beberapa waktu lalu, Arif Satria menjelaskan bahwa BRIN telah mengaktifkan force reaksi tanggap bencana yang terdiri dari 13 unit kerja, mencakup data dan satelit, survei dan pemetaan, teknologi air minum, logistik kebencanaan, kajian mitigasi, serta dukungan sarana prasarana.
BRIN juga mengerahkan teknologi Air Siap Minum (ARSINUM), kendaraan tanggap bencana yang memproduksi air minum bersih menggunakan filtrasi, ultrafiltrasi, dan reverse osmosis, serta menyediakan sanitasi darurat bagi masyarakat terdampak’ terangnya.
Selain itu, BRIN tengah melakukan kajian mitigasi pasca banjir, kajian kerentanan penyakit, kajian ketenagaan sosial, dan kajian rekonstruksi bencana untuk menilai dampak langsung maupun lanjutan, serta memberikan rekomendasi pemulihan berbasis riset kepada pemerintah pusat dan daerah. Temuan ini diharapkan menjadi dasar tindakan yang lebih cepat, tepat, dan berkelanjutan.
Hetifah menyampaikan bahwa Komisi X memandang kolaborasi BRIN dan Kemdiktisaintek sebagai langkah penting dalam memperkuat sistem penanganan bencana nasional. Kita perlu membangun sistem mitigasi yang berbasis data dan teknologi, agar masyarakat, benar-benar terlindungi.
Hetifah juga menekankan bahwa percepatan mobilisasi teknologi, mulai dari data satelit untuk memetakan kerusakan, hingga teknologi air bersih dan sanitasi, harus menjadi prioritas bersama. Menurutnya, kehadiran BRIN tidak boleh berhenti pada penelitian, tetapi harus langsung menjawab kebutuhan masyarakat di titik terdampak.
Sebagai Ketua Komisi X, Hetifah menegaskan komitmennya untuk mendorong lahirnya regulasi yang mendukung upaya mitigasi bencana melalui riset dan pendidikan, sekaligus memastikan alokasi anggaran yang memadai. Ia menambahkan, kebijakan pendidikan harus diarahkan agar mampu menyiapkan generasi yang memahami risiko lingkungan dan memiliki kapasitas untuk menanganinya.
Hetifah mengajak seluruh pelaku pendidikan, peneliti, industri, pemerintah daerah, dan masyarakat luas untuk bersama-sama memperkuat budaya kesiapsiagaan dan menjaga kelestarian lingkungan. “Dengan kolaborasi yang kuat dan berbasis pada ilmu pengetahuan, kita bisa membangun bangsa yang lebih tangguh menghadapi bencana,” tutupnya. •rnm/aha