E-Media DPR RI

Desak Evaluasi Total Sistem Pengawasan Penjualan Mineral Darat Indonesia

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi saat Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR bersama Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025). Foto: Oji/vel.
Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi saat Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR bersama Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025). Foto: Oji/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi mengungkap temuan serius terkait lemahnya pengawasan negara soal penjualan mineral melalui jalur darat, terutama di kawasan industri yang terintegrasi dengan tambang nikel. Jika dibiarkan, ungkapnya, celah pengaturan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara pada skala besar.

Pernyataan ini disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR bersama Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025). Perlu diketahui, Komisi XII DPR telah meninjau langsung kawasan industri BWIP, salah satu wilayah dengan fasilitas terintegrasi untuk penambangan dan pengolahan nikel.

Dalam kunjungan tersebut, Komisi XII DPR menemukan bahwa timbangan yang digunakan untuk mengukur kuantitas mineral sepenuhnya dioperasikan oleh perusahaan, bukan oleh pemerintah atau pihak independen. “Kami temukan ada beberapa timbangan yang dioperasionalkan oleh mereka sendiri,” kata Bambang.

Meski ada surveyor yang hadir, jelasnya, negara sama sekali tidak berada dalam proses verifikasi kuantitas yang menjadi dasar penjualan mineral. Baginya, temuan tersebut telah disampaikan langsung kepada Presiden Prabowo Subianto. “Kami sampaikan bahwa skema penjualan darat itu tidak ada. Kawasan industri bisa mendapatkan ore dari tambangnya sendiri tanpa melalui negara,” ujarnya.

Dalam rapat itu, Bambang menilai Dirjen Minerba belum pernah mengatur skema penjualan darat berbasis tracking. Artinya, tidak ada sistem kendali terpadu yang mencatat pergerakan ore dari tambang menuju smelter melalui jalur darat. Padahal, terangnya, jalur ini kini menjadi metode pengangkutan utama bagi kawasan industri nikel yang berlokasi dekat dengan lokasi tambang.

Sebaliknya, ia menilai skema penjualan melalui laut dinilai jauh lebih tertib karena melibatkan syahbandar dan perangkat pengawasan lain yang sudah lama terstandarisasi. “Kalau yang skema penjualan melalui laut itu mudah. Kontrolnya sangat mudah, kuantitasnya berapa, kualitasnya,” ujar Bambang.

Masalah Baru

Selain lemahnya regulasi pengiriman darat, Komisi XII juga menyoroti persoalan kualitas layanan surveyor. Menurut Bambang, banyak laporan dari perusahaan tambang terkait perbedaan signifikan antara hasil pengukuran surveyor satu dengan yang lain, sehingga memicu ketidakpastian dan potensi manipulasi.

Pendapatan negara dari sektor minerba sangat bergantung pada hasil verifikasi surveyor, karena nilainya ditentukan oleh kuantitas dan kualitas. “Ketika surveyor ini tidak ada yang mengawasi, hanya diawasi badan akreditasi saja, kami user-nya,” katanya.

Dalam konteks ini, user yang dimaksud adalah Kemitraan Komisi XII DPR dengan Kementerian ESDM sebagai regulator. Ia juga mengungkapkan bahwa Komisi XII DPR sedang memonitor salah satu surveyor yang diduga melakukan pendekatan-pendekatan tertentu dari sisi hukum untuk mempengaruhi hasil kerja mereka. “Ini keluhan dari beberapa pengusaha. Ini tidak boleh. Kalau perlu kita rekomendasikan dicabut itu surveyor,” tegasnya.

Dirinya juga menyebut adanya surveyor yang “berhasil menerbitkan puluhan izin” dalam waktu singkat, suatu indikasi adanya dominasi kekuatan tertentu dalam ekosistem surveyor nasional. “Tidak boleh ada kekuatan tertentu yang mendominasI (yang) memainkan hasil survei, merugikan negara,” ujarnya.

Terancam Pencabutan Izin

Oleh karena itu, Bambang meminta Kementerian ESDM, khususnya jajaran Dirjen Minerba, untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap 14 perusahaan surveyor yang saat ini beroperasi dalam ekosistem pertambangan mineral. Jika ditemukan ketidakpatuhan atau praktik ilegal, ia mendesak agar izin mereka dicabut.

“Kalau mereka tidak proper, pakai cara-cara yang tidak legal, tidak mau bersaing secara profesional, saya minta dicabut izinnya,” tegasnya.

Baginya, Langkah ini diperlukan untuk memastikan pengawasan minerba tetap berada dalam kontrol negara, bukan dalam kendali kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan celah tata niaga dan lemahnya regulasi penjualan darat. Sebab, tanpa regulasi yang kuat, jelasnya, pemerintah berisiko kehilangan penerimaan negara dari PNBP minerba, sekaligus perusahaan berpotensi menghadapi distorsi harga dan ketidakpastian kualitas. •um/aha