E-Media DPR RI

Cellica Nurrachadiana Dorong Evaluasi Menyeluruh Program MBG di Kabupaten Bandung

Anggota Komisi IX DPR RI Cellica Nurrachadiana, saat mengikuti pertemuan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto: Eko/vel.
Anggota Komisi IX DPR RI Cellica Nurrachadiana, saat mengikuti pertemuan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Foto: Eko/vel.


PARLEMENTARIA, Bandung —
 Udara pagi di Kabupaten Bandung cukup cerah ketika rombongan Komisi IX DPR RI tiba pada Senin (1/12/2025). Jalanan menanjak dengan kontur berbukit seakan menjadi gambaran tantangan pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Di antara para legislator yang hadir, Anggota Komisi IX DPR RI dari Daerah Pemilihan Jawa Barat VII, Cellica Nurrachadiana, tampil lugas menyampaikan sejumlah catatan krusial mengenai implementasi program nasional yang menyasar anak-anak sekolah, ibu hamil, dan kelompok rentan itu.

Cellica, yang pernah dua periode memimpin Kabupaten Karawang sebagai bupati, membuka pernyataannya dengan apresiasi namun sekaligus menyoroti berbagai temuan lapangan. Data yang dipaparkan Pemerintah Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa dari lebih dari 300 ribu sasaran, baru 180 ribu yang terealisasi. Sekitar 80 ribu sedang dalam proses, dan sisanya tertunda akibat berbagai kendala administratif maupun teknis.

“Ini konsep kemitraan. Tapi kenyataannya, yayasan yang bermitra tidak selalu linier dengan pelaksana lapangan,” ujarnya. Ketidaksinkronan itu, menurut Cellica, menjadi salah satu alasan munculnya cut off dan rollback dalam penyaluran MBG di beberapa daerah. Meski Kabupaten Bandung relatif lebih baik—hampir mencapai 50 persen target—wilayah lain di Jawa Barat bahkan baru menyentuh 10 hingga 20 persen.

“Dan itu Jawa Barat, Pak. Kita belum bicara daerah timur seperti NTT, NTB, dan Sulawesi yang topografinya lebih berat,” tambah Politisi Fraksi Partai Demokrat ini.

Selain itu, Cellica juga menyoroti bahwa kesulitan mencari mitra penyedia MBG bukan hanya soal administrasi, melainkan kondisi geografis. Kabupaten Bandung dengan banyak wilayah pegunungan menjadi contoh nyata.

“Topografi kita berat. Jalanan susah. Mencari mitra pun tidak mudah,” katanya. Karena itu, ia menekankan agar Badan Gizi Nasional (BGN) mengevaluasi program kemitraan secara menyeluruh, memastikan kesesuaian antara yayasan pusat dan pelaksana lokal.

“Program ini jangan sampai ada cawe-cawe di lapangan. Harus semisi, seirama,”

Dalam dialog yang berlangsung hangat, Cellica mempertanyakan rendahnya penerbitan SLAS (Surat Laik Apresiasi Sanitasi)—dokumen yang menjadi bukti bahwa dapur produksi MBG memenuhi standar keamanan pangan.

Di Kabupaten Bandung, capaian penerbitan SLAS baru 7,2 persen. Padahal SLAS menjadi syarat penting agar makanan yang dikonsumsi anak-anak, ibu hamil, dan menyusui benar-benar aman. “Instrukturnya cukup kok, karena bekerja sama dengan organisasi masyarakat. Jadi apa masalahnya?” tanya Cellica.

Pertanyaan itu mengarah pada kesimpulan: ada kendala teknis yang perlu dimitigasi lebih awal. Ia mengingatkan bahwa dengan hanya satu sanitarian dan satu ahli gizi di tiap puskesmas, pengawasan pasca-SLAS dikhawatirkan tidak optimal. “Ini yang nanti memengaruhi mitigasi keracunan. Rumah sakit dan ambulans siap, tapi jangan sampai kejadian. Pengawasan itu kunci,” tegasnya.

Cellica mengapresiasi perbaikan koordinasi antara pemerintah daerah dan mitra MBG. Jika pada tahap awal banyak kegamangan soal siapa bertanggung jawab ketika terjadi kasus, kini struktur kepemimpinan Satgas MBG sudah lebih jelas.

Namun, ia menggarisbawahi bahwa penurunan Transfer Keuangan Daerah (TKD) berpotensi melemahkan pelaksanaan program.

“BGN harus mendukung penuh. SDM sudah ada, tinggal lokus anggaran supaya tidak duplikasi,” jelasnya.

Ia menyinggung peran KORCAM, KORWIL, hingga tim Satgas di tingkat desa yang harus memahami lokalitas masing-masing. Cellica mengingatkan bahwa penugasan lintas daerah bisa memunculkan kendala adaptasi.

“Kayak saya, orang Karawang, ditempatkan di Kabupaten Bandung, pasti banyak yang tidak hafal. Ada local wisdom yang harus mereka kuasai,” jelasnya.

Program MBG adalah salah satu program prioritas pemerintah pusat yang ditekankan Presiden Republik Indonesia. Target nasional mencapai lebih dari 30 juta penerima manfaat di berbagai tingkat pendidikan dan kelompok rentan.

Namun, laporan Kementerian dan BGN sebelumnya menunjukkan bahwa beberapa daerah menghadapi masalah serupa: kurangnya mitra produksi, keterbatasan tenaga pengawas, dan tidak meratanya distribusi pangan. 

Temuan Cellica selaras dengan data nasional tersebut, memperkuat urgensi evaluasi menyeluruh. Mengakhiri pernyataannya, Cellica menegaskan bahwa Komisi IX DPR RI berkomitmen memastikan bahwa MBG tidak hanya berjalan, tetapi juga aman, merata, dan berkualitas.

“Anak-anak menunggu program ini. Kita tidak boleh lambat. Pengawasan harus kuat, kemitraan harus selaras, dan pemerintah pusat harus hadir mendukung daerah.”

Ia menutup pernyataanya dengan ucapan, “Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.” •ssb/rdn