E-Media DPR RI

Bonnie Triyana Serukan Kesiapsiagaan Bencana Melalui Pendidikan dan Riset

Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana saat mengikuti Rapat Kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) RI serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Gedung Nusantara I. Foto: Mares/vel.
Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana saat mengikuti Rapat Kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) RI serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Gedung Nusantara I. Foto: Mares/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana menekankan perlunya pergeseran pendekatan penanganan bencana di sektor pendidikan, dari yang bersifat reaktif menjadi lebih preventif dan berbasis mitigasi jangka panjang. Bonnie menyebut Indonesia sebagai “supermarket bencana” yang menuntut kesiapsiagaan lebih serius melalui riset, teknologi, dan keberanian akademisi menyuarakan persoalan kerusakan lingkungan sejak dini.

“Indonesia sering disebut sebagai negara dengan istilah supermarket bencana. Kalau kita lihat, bencana itu banyak sekali. Mestinya kita lihat ke depan sekarang penanggulangan sudah banyak, saya juga mengapresiasi tindakan cepat dari community scientist, juga BRIN, terhadap penanggulangan bencana ini. Ke depan, kita bisa meningkatkan lagi kewaspadaan kita, kemudian mitigasinya,” ujar Bonnie dalam Rapat Kerja Komisi X DPR RI bersama Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) RI serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (8/12/2025).

Bonnie pun menyinggung pemberitaan mengenai pencabutan izin empat perusahaan oleh Menteri Kehutanan yang diduga berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan. Ia menilai, kasus semacam itu seharusnya dapat terdeteksi sejak awal apabila sistem pengawasan lingkungan berjalan optimal. Pemanfaatan teknologi, seperti pemetaan berbasis citra dan penggunaan drone, menurutnya, mestinya mampu mengidentifikasi sejak dini penggundulan hutan, penyalahgunaan izin, maupun aktivitas perusahaan tanpa izin yang berpotensi memicu bencana besar seperti banjir dan longsor yang menelan korban jiwa. 

“Mestinya kan terdeteksi dari awal, mestinya kan bisa diketahui dari awal, sehingga banjir yang menyebabkan korban jiwa yang sangat besar ini kita bisa hindari,” tegas Bonnie.

Dalam konteks pendidikan dan riset, Bonnie mendorong keterlibatan lebih aktif perguruan tinggi, terutama universitas yang memiliki fakultas kehutanan, lingkungan, dan program studi terkait kebencanaan. Ia menilai kampus tidak hanya berperan sebagai pusat akademik, tetapi juga sebagai simpul produksi pengetahuan yang dapat langsung berdampak bagi masyarakat. Riset-riset kebencanaan, menurutnya, harus lebih membumi dan melibatkan masyarakat setempat yang hidup di wilayah rawan bencana.

Bonnie secara khusus juga menekankan pentingnya penggalian dan pelestarian pengetahuan lokal (local wisdom) terkait bencana. Ia mengingatkan bahwa banyak komunitas adat dan masyarakat lokal sebenarnya memiliki istilah, penanda alam, serta ingatan kolektif tentang bencana yang pernah terjadi di wilayah mereka. Pengetahuan itu diwariskan lintas generasi, tetapi sering diabaikan dan terputus karena tidak terdokumentasi dan tidak terdistribusikan secara luas. 

Ia mencontohkan praktik riset di negara lain yang memanfaatkan arsip visual dan dokumentasi historis untuk memetakan risiko bencana. Bonnie mengisahkan sebuah film dokumenter di Inggris yang menelusuri sejarah banjir melalui foto-foto lama guna mengetahui sejauh mana dan setinggi apa banjir pernah merendam suatu kota. Pendekatan semacam itu, menurutnya, relevan untuk diterapkan di Indonesia dengan memanfaatkan arsip visual, kronologi kejadian, dan data historis bencana sebagai dasar perencanaan mitigasi ke depan.

Lebih jauh, Bonnie menyinggung situasi di Jakarta, di mana ancaman banjir rob kian nyata seiring kenaikan tanggul dan mulai masuknya air laut ke kawasan permukiman. Ia mengingatkan bahwa dalam sepuluh tahun ke depan, dampak kerusakan lingkungan dan krisis iklim bisa semakin sulit diprediksi jika tidak ditangani dengan serius sejak sekarang. Oleh karena itu, ia menilai riset lingkungan dan kebencanaan harus menjadi agenda yang semakin urgen, termasuk keberanian akademisi dan peneliti untuk mengungkap dan mengkritisi praktik-praktik perusahaan yang merusak lingkungan.

Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu turut menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang adil dan menyeluruh dalam pemulihan pendidikan pascabencana. Ia mempertanyakan skema bantuan biaya hidup yang dipaparkan pemerintah karena dinilai baru mencakup mahasiswa dan dosen. Padahal, menurutnya, di lingkungan perguruan tinggi terdapat tenaga profesional lain seperti pustakawan, laboran, dan tenaga kependidikan yang juga berpotensi terdampak langsung oleh bencana. •ecd/rdn