Anggota Komisi IV DPR RI I Ketut Suwendra meninjau proses persemaian bibit saat Kunsfik Komisi IV di Persemaian Modern Rumpin, Bogor, Jawa Barat, hari Jumat (5/12/2025). Foto: Munchen/vel.
PARLEMENTARIA, Bogor – Persemaian Modern Rumpin di Kabupaten Bogor kembali menjadi perhatian Komisi IV DPR RI. Fasilitas yang dibangun dengan teknologi berstandar internasional ini dinilai mampu menjawab kebutuhan penyediaan bibit untuk rehabilitasi hutan nasional.
Anggota Komisi IV DPR RI I Ketut Suwendra menyampaikan apresiasinya terhadap fasilitas persemaian yang terintegrasi secara otomatis, mulai dari sistem penyiraman, pemupukan, hingga pengendalian kualitas bibit. Namun, ia menekankan perlunya pengawasan ketat agar bibit yang diproduksi benar-benar ditanam dan dirawat dengan baik.
“Saya sangat concern dan kritis karena persemaian bibit pohon hutan di Rumpin, Kabupaten Bogor, ini sangat modern dan sudah bertaraf internasional. Bangunan semegah ini disiapkan pemerintah untuk menyediakan bibit dan mereboisasi hutan-hutan yang gundul. Jadi jangan sampai bibitnya hanya diproduksi tetapi tidak tertanam, atau tertanam namun tidak terawat,” kata Suwendra kepada Parlementaria usai Kunsfik Komisi IV di Persemaian Modern Rumpin, Bogor, Jawa Barat, hari Jumat (5/12/2025).
Dalam sesi dialog dengan pengelola, Suwendra menegaskan pentingnya data akurat mengenai lokasi penanaman bibit. Berdasarkan data BPDAS Citarum–Ciliwung, persemaian telah mendistribusikan lebih dari 17,5 juta bibit ke berbagai daerah sejak beroperasi, termasuk untuk rehabilitasi hutan, agroforestri, dan UPSA (Usaha Pelestarian Sumber Daya Alam). Namun, menurutnya, distribusi besar tersebut harus diikuti pemantauan nyata di lapangan.
“Kita kritisi, kita minta datanya—di mana ditanamnya. Kita mau lihat juga, sehingga jelas betul lokasi ditanamnya. Jangan sampai hanya disebut wilayah, tapi tidak pernah dirawat,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa Komisi IV menunggu laporan resmi lokasi penanaman, termasuk data geotag yang selama ini digunakan dalam proses monitoring.
“Tadi kita minta dan dijanjikan datanya akan diberikan. Kami akan turun langsung sebagai fungsi pengawasan untuk melihat di mana bibit-bibit itu ditanam,” ujarnya.
Data persemaian menunjukkan bahwa kendala produksi dan penanaman tidak hanya disebabkan penurunan target produksi, tetapi juga keterbatasan anggaran untuk penanaman dan pemeliharaan di lapangan. Pada beberapa program, seperti FOLU (Forestry and Other Land Uses) Net Sink 2025, realisasi produksi baru mencapai 552.631 bibit dari target 1 juta batang. Keterbatasan biaya penanaman turut memengaruhi capaian tersebut.
Menanggapi kondisi itu, Suwendra menilai bahwa pelibatan masyarakat, LSM, dan mahasiswa merupakan langkah strategis untuk menutupi keterbatasan anggaran sekaligus menumbuhkan rasa memiliki terhadap hutan yang direhabilitasi.
“Kalau biaya untuk penanaman kurang, maka melibatkan masyarakat, LSM, dan mahasiswa adalah langkah yang sangat baik. Jadi ada yang menanam, ada yang merawat, dan ada yang memperhatikan,” ujarnya.
Ia juga mengapresiasi informasi pengelola persemaian yang telah memberdayakan masyarakat melalui tenaga kerja harian, dengan melibatkan 58 orang dalam proses produksi pada tahun 2025. Menurutnya, pelibatan tersebut perlu diperluas hingga tahap penanaman agar keberhasilan rehabilitasi lebih terjamin.
“Dari informasi tadi, salah satu kelemahan ada pada anggaran untuk proses penanaman. Karena itu, pelibatan masyarakat dalam proses penanaman sangat kami setujui. Sehingga, rasa memiliki terhadap hutan meningkat dan potensi kerusakan bisa berkurang,” tutup Suwendra. •mun/aha