E-Media DPR RI

Bahas Revisi UU, Yanuar Arif: Kadin Lebih Kental Aroma Politik, Semestinya Independen!

Anggota Baleg DPR RI Yanuar Arif Wibowo saat mengikuti RDPU Baleg DPR RI bersama para akademisi, di Gedung Nusantara I. Foto: Munchen/vel.
Anggota Baleg DPR RI Yanuar Arif Wibowo saat mengikuti RDPU Baleg DPR RI bersama para akademisi, di Gedung Nusantara I. Foto: Munchen/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta – 
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Yanuar Arif Wibowo menilai revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (Kadin) harus memastikan organisasi tersebut tetap independen dan bebas dari praktik bisnis yang berkaitan dengan anggaran negara.

Yanuar sampaikan hal itu dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI bersama para akademisi, di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (4/12/2025). RDPU ini dengan menghadirkan dua narasumber, yakni Dr. Oce Madril dari Fakultas Hukum UGM dan Prof. John Pieris dari Universitas Kristen Indonesia, terkait penyusunan RUU tentang Perubahan UU Kadin.

Dalam forum tersebut, Yanuar mengawali pandangannya dengan menyinggung akar sejarah UU Kadin yang lahir pada era Orde Baru. Menurutnya, perkembangan Kadin saat ini menunjukkan lebih kental adanya “aroma politik” yang cukup kuat, hingga bahkan sempat memicu konflik internal.

“Ini memberi pesan, ada apa dengan Kadin sekarang? Itu pertanyaan besarnya,” ujarnya dalam kesempatan itu.

Yanuar menekankan bahwa, secara ideal, Kadin harus menjadi mitra strategis pemerintah dalam memberi masukan pembangunan ekonomi, mulai dari pertumbuhan industri hingga laju ekonomi nasional. Namun, ia melihat adanya penyimpangan fungsi dalam praktik di lapangan.

“Seringkali kita menyaksikan Kadin ini jadi tempat orang berbisnis dengan pemerintah, jadi (menggunakan) APBN, APBD provinsi, hingga APBD kabupaten/kota,” tegas Politisi Fraksi PKS ini.

Ia mempertanyakan relevansi keberadaan Kadin tingkat provinsi dan kabupaten/kota, dalam hal peran utamanya untuk memberikan masukan kebijakan kepada pemerintah pusat. Terlebih, jika struktur kepengurusan bahkan melibatkan unsur pemerintah seperti Presiden, ia khawatir orientasi organisasi dapat bergeser.

“Kalau kita letakkan Kadin untuk berbisnis dengan pemerintah, dengan uang negara, dengan uang rakyat, apakah mungkin hal seperti ini bisa objektif? Orang berdagang pasti cari untung. Sementara negara bukan soal untung, tapi soal kesejahteraan rakyat,” ujarnya.

Karena itu, Yanuar mendorong agar revisi UU mampu memberikan batasan dan koridor yang jelas, agar Kadin tidak menjadi wadah bagi kepentingan bisnis tertentu. “Jangan sampai orang masuk organisasi ini hanya untuk dapat kue proyek. Itu fatal,” tegasnya.

Yanuar juga menyoroti pentingnya penempatan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam konstruksi kelembagaan Kadin yang baru. Ia menyebut UMKM sebagai penopang utama perekonomian nasional, bahkan tetap bertahan saat krisis.

“UMKM adalah 49 persen penopang ekonomi. Maka UMKM harus mendapatkan tempat yang jelas dalam UU ini,” katanya.

Sebagai penutup, ia berharap Kadin tidak menjadi “menara gading” bagi kelompok usaha tertentu, melainkan benar-benar menjadi wadah yang memfasilitasi seluruh pelaku usaha, termasuk UMKM dalam skala kecil. •hal/rdn