Anggota Komisi III DPR RI Safaruddin dalam Rapat Panja Komisi III bersama akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) untuk membahas Reformasi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (04/12/2025). Foto : Dep/Han.
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Komisi III DPR RI Safaruddin menilai reformasi sistemik di sektor peradilan dan kepolisian harus dimulai dari pembenahan kultur, bukan hanya struktur dan instrumen kelembagaan. Ia menegaskan bahwa sejumlah persoalan, mulai dari karier hakim, independensi Kapolri, hingga praktik transaksional dalam layanan kepolisian, tidak akan selesai tanpa perubahan budaya hukum yang konsisten.
“Tadi disampaikan masalah (bahwa) hakim tidak relevan lagi (menjadi) ASN. Memang berarti itu kan ada kaitannya dengan pembinaan karier hakim, ada kaitannya juga dengan penggajian. Kalau ASN itu kan mulai golongan bawah, naik-naik ke atas. Ketika berganti, berubah, golongannya, gajinya juga akan berubah. Seperti apa sistem yang kira-kira kalau memang kita akan merevisi nanti undang-undang itu,” ujar Safaruddin dalam Rapat Panja Komisi III bersama akademisi Universitas Islam Indonesia (UII) dan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) untuk membahas Reformasi Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (04/12/2025).
Dalam kesempatan tersebut, Safaruddin menyoroti persoalan perilaku sebagian hakim yang terseret kasus korupsi dan pelanggaran etik. Menurutnya, banyak penyimpangan terjadi bukan hanya karena celah regulasi, tetapi akibat lemahnya kultur integritas di lembaga peradilan.
“(Tadi) yang banyak disampaikan (adalah) masalah struktural. Tapi (belum dibahas) bagaimana perilaku-perilaku hakim yang selama ini kita dengar, ada penyimpangan-penyimpangan, juga ada yang ditangkap KPK,” papar Safaruddin. Ia menambahkan bahwa perilaku hakim yang menyimpang seperti ini telah menjadi kultur dan perlu dilakukan pembenahan secara serius.
Berpindah ke isu kepolisian, Safaruddin menanggapi paparan Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso yang menyebut bahwa kebijakan Presiden kerap membentuk wajah Polri, termasuk tradisi mantan ajudan Presiden yang berpeluang menjadi Kapolri. Ia menilai kedekatan emosional dapat mempengaruhi independensi institusi. Hal ini, menurutnya, merupakan rumusan yang harus dijawab bersama.
Terkait maraknya penyimpangan di tingkat pelayanan dasar seperti Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) hingga proses lidik dan sidik, Safaruddin menegaskan bahwa persoalan tersebut merupakan masalah kultur yang tidak pernah selesai. Ia menilai reformasi Polri selama ini berjalan maju-mundur karena bergantung pada sikap pimpinan.
“Ketika (pemimpinnya) itu agak tegas, betul-betul memperhatikan pembenahan kultur, (sistemnya) jadi bagus. Setelah ganti lagi pimpinan, berubah lagi, Pak. Ini mungkin perlu mohon pencerahan,” tegas Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Di akhir paparannya, Safaruddin meminta masukan konkret dari para narasumber mengenai langkah awal dan desain pembenahan kultur aparat penegak hukum agar reformasi sistematis dapat berlangsung konsisten, terukur, dan berkelanjutan. •ecd/rdn