Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra, saat mengikuti RDP dan RDPU dengan Kapolda Jateng, Dirkrimum Jateng, Para Kasubdit Polda Jateng, Tim Kuasa Hukum Ratih Asmara Dewi dan Notaris Fifin Nuri Endarti. Foto: Mahendra/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Soedeson Tandra, menilai langkah kepolisian dalam menangani polemik sengketa kepemilikan Yayasan Darun Nujaba terkesan terburu-buru. Hal itu mengemuka usai Komisi III menggelar RDP dan RDPU dengan Kapolda Jawa Tengah, Dirkrimum, sejumlah Kasubdit Polda Jateng, serta tim kuasa hukum pihak-pihak yang bersengketa, termasuk perwakilan masyarakat sipil yang mengadukan persoalan tersebut ke parlemen. Pertemuan berlangsung di ruang rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025).
Dalam forum tersebut, Soedeson menegaskan bahwa Komisi III hadir untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat yang merasa dirugikan atau tidak mendapatkan kepastian hukum dalam proses penanganan perkara. Karena itu, Komisi III menilai penting untuk memastikan kepolisian bekerja secara objektif dan proporsional, terlebih persoalan yang dibahas merupakan sengketa yang masih berproses di ranah perdata.
“Soal Yayasan Darun Nujaba ini, saya melihat langkahnya tergesa-gesa. Ini sengketa kepemilikan yang masih berada di pengadilan. Kalau perdata belum tuntas, jangan buru-buru masuk pidana,” ujar Soedeson.
Ia menegaskan, berdasarkan prinsip dalam Pasal 81 KUHAP, perkara pidana seharusnya ditangguhkan terlebih dahulu apabila inti persoalan masih menjadi sengketa perdata. Menurutnya, langkah penyidik menangani laporan secara cepat tanpa menunggu kejelasan status kepemilikan akta justru menimbulkan pertanyaan publik mengenai apakah kepolisian telah bekerja secara netral.
“Kalau ini sengketa siapa benar siapa salah, kenapa pidana didorong duluan? Kalau putusan perdata nanti berbeda, bagaimana? Polisi bilang tidak berpihak, tapi fakta yang kita lihat ini menimbulkan pertanyaan,” tegas Legislator Fraksi Partai Golkar itu.
Soedeson kemudian menyoroti sejumlah akta yayasan yang menjadi dasar perdebatan antara kedua belah pihak. Dari data yang ia pegang, yang juga dipaparkan Polda Jateng terdapat perubahan struktur pembina yayasan dari tahun 2015, lalu berubah pada akta 22 Juli 2021, dan kembali berubah lagi pada 2 Februari 2025. Perbedaan akta ini menjadi sumber sengketa yang belum diputuskan secara definitif di pengadilan.
Dalam kesempatan itu, Soedeson juga mempertanyakan legal standing pelapor, serta absennya mekanisme restorative justice, padahal perkara bersumber dari konflik internal keluarga. Ia menilai penyelesaian semestinya mengedepankan mediasi, bukan langsung memproses pidana yang berpotensi memperkeruh suasana.
“Ini kan sengketa keluarga. Mana mekanisme restorative justice-nya? Harusnya dimediasi dulu, jangan langsung seperti ini. Jangan sampai nanti Polda Jateng dianggap berpihak,” ujarnya. Ia bahkan mengusulkan agar perkara tersebut dievaluasi secara menyeluruh dan tidak dilanjutkan apabila ditemukan ketidaksesuaian prosedur maupun kecenderungan keberpihakan.
Komisi III menegaskan bahwa pertemuan ini merupakan bagian dari fungsi pengawasan dan penyerapan aspirasi publik, terutama ketika masyarakat sipil merasa penegakan hukum yang mereka terima tidak mencerminkan asas kepastian, keadilan, dan proporsionalitas.
Dengan sejumlah catatan tersebut, Komisi III meminta Polda Jawa Tengah untuk menelaah ulang penanganan kasus Yayasan Darun Nujaba. Komisi III menegaskan akan terus mengawal proses ini agar berjalan secara objektif dan tidak menimbulkan persepsi keberpihakan aparat terhadap salah satu pihak dalam sengketa yayasan tersebut. •fa/aha