E-Media DPR RI

Komisi V: LPJK Diminta Tegas Selesaikan Polemik Pembayaran Subkontraktor

Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus dalam Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Periode 2025–2029 di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025). Foto : Karisma/Andri.
Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus dalam Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Periode 2025–2029 di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025). Foto : Karisma/Andri.


PARLEMENTARIA, Jakarta 
– Masalah pembayaran subkontraktor yang kerap tersandera persoalan antara main contractor dan pemberi kerja kembali menjadi sorotan. Situasi ini dinilai telah merugikan banyak pelaku usaha kecil daerah yang tetap harus menanggung risiko, meski pekerjaan telah mereka selesaikan.

“Bagaimana kontrak itu bisa mengikat antara the project owner dengan si subkon. Memang itu persoalan sekarang. Ini menurut saya harus diselesaikan,” ujar Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus dalam Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Periode 2025–2029 di Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Ia menilai kasus-kasus seperti yang pernah menimpa Waskita menjadi gambaran nyata betapa rentannya posisi subkontraktor di lapangan. Banyak perusahaan kecil yang tidak mendapatkan pembayaran, sementara permasalahan terjadi pada tingkatan kontraktor utama dengan pemberi kerja. Kondisi ini dianggap tidak mencerminkan hubungan kontraktual yang adil dalam proyek konstruksi nasional.

“Yang tidak membayar ini malah sebagian besarnya adalah Badan Usaha Milik Negara, Pak. BUMN yang tidak membayar subkon. Karenanya ke depan subkon itu terkait dengan pekerjaannya itu dibuat posisinya sama dengan the owner, karena dia melaksanakan (pekerjaan),” ujar politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.

Lasarus menegaskan perlunya aturan yang mengikat kontraktor nakal demi melindungi subkontraktor yang mayoritas merupakan badan usaha skala kecil dan berbasis daerah. Ia menilai LPJK perlu mengambil peran sebagai penengah dalam konflik pembayaran, sehingga tidak ada lagi pihak yang telah bekerja tetapi tidak menerima haknya.

“Harus ada risiko hukum yang ditanggung oleh owner ketika subcontractor ini tidak dibayar. Sekarang kan tidak ada. Sehingga nanti LPJK harus hadir di tengah-tengah situ,” ucapnya.

Ia juga menekankan pentingnya memastikan seluruh kontrak bisnis, baik antara kontraktor utama dan pemberi kerja maupun kontraktor utama dan subkontraktor memiliki konsekuensi hukum yang sepadan. Menurutnya, pekerja subkon tidak boleh dikorbankan hanya karena masalah administratif atau keuangan di level atas, sebab pekerjaan yang mereka selesaikan adalah bagian dari pembangunan negara.

“Ketika main contractor-nya itu tidak membayar subkontraktor-nya, itu LPJK harus hadir. Ada reward and punishment yang harus kita berikan di sana ketika ada pihak lain yang sudah bekerja, karena nanti hasil pekerjaannya untuk negara. Terus justru yang bekerja ini tidak dibayar, yang tidak bekerja menikmati uang. Ini ada yang salah dalam sistem kita!” tegasnya.

Sebagai informasi, proses seleksi Pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) dimulai sejak 19 Mei 2025 melalui rekrutmen calon pengurus dari berbagai unsur masyarakat jasa konstruksi. Peserta yang terjaring berasal dari asosiasi profesi, badan usaha, asosiasi rantai pasok, hingga perguruan tinggi dan pakar.

LPJK merupakan lembaga nonstruktural di bawah Kementerian PUPR akan menjalankan sebagian tugas pemerintah, terutama penguatan pelaksanaan teknis jasa konstruksi sebagaimana amanat UU No. 2 Tahun 2017. •uc/rdn