E-Media DPR RI

DPR Tegaskan Isu Bahasa dalam Kontrak Internasional di UU 24/2009 Tidak Bertentangan dengan Konstitusi

Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, saat menyampaikan keterangan DPR RI pada uji Materiil UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, terhadap UUD 1945 secara virtual. Foto: Sari/vel.
Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, saat menyampaikan keterangan DPR RI pada uji Materiil UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, terhadap UUD 1945 secara virtual. Foto: Sari/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta 
– DPR RI memberikan keterangan resmi pada Pengujian Materiil UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, terhadap UUD 1945 dalam Perkara Nomor 173 dan 188/PUU-XXIII/2025. Penyampaikan Keterangan DPR tersebut disampaikan oleh Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, yang menegaskan bahwa persoalan penggunaan bahasa dalam kontrak internasional bukan berada pada norma undang-undang, melainkan pada praktik penafsirannya.

Menurutnya, norma kewajiban pencantuman Bahasa Indonesia sudah jelas, konsisten, dan tidak menimbulkan persoalan dari sisi perumusan. Wayan menjelaskan bahwa Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA 3/2023 untuk memastikan tidak ada lagi perbedaan tafsir di pengadilan terkait keabsahan kontrak yang tidak disertai terjemahan Bahasa Indonesia. Dengan demikian, menurutnya, isu yang dipersoalkan para pemohon sesungguhnya sudah dijawab dalam tingkat implementasi.

“Ini persoalan bagaimana norma diterapkan, bukan salah normanya. MA sudah memberi pedoman tegas agar pengadilan tidak serta-merta membatalkan kontrak hanya karena bahasa,” kata Wayan dalam keterangan yang disampaikan di Gedung Setjen DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025).

Legislator dari Fraksi PDI-Perjuangan ini menilai bahwa penekanan pemohon untuk menjadikan perjanjian berbahasa asing tanpa terjemahan sebagai batal demi hukum justru dapat merusak stabilitas hubungan bisnis dan investasi. Norma bahasa, tegasnya, tidak pernah dimaksudkan menjadi instrumen penghukuman, melainkan instrumen edukasi dan perlindungan.

Dalam keterangan DPR RI tersebut, Wayan menyoroti pentingnya menempatkan itikad baik sebagai acuan utama dalam memeriksa keabsahan sebuah perjanjian. Menurutnya, pembatalan kontrak seharusnya hanya dilakukan apabila ada unsur kesengajaan merugikan pihak tertentu, bukan karena kekurangan administratif.

“Dalam hukum kontrak, itikad baik adalah fondasi. Tidak adil jika kontrak dibatalkan semata-mata karena teknis bahasa ketika tidak ada pihak yang dirugikan,” tegasnya.

Terakhir, Wayan menambahkan bahwa menjadikan kewajiban Bahasa Indonesia sebagai syarat batal demi hukum akan menciptakan efek domino yang buruk bagi iklim usaha. Pelaku usaha asing akan menghadapi ketidakpastian, sementara pihak Indonesia berpotensi kehilangan ruang fleksibilitas dalam kerja sama internasional.

Ia menegaskan bahwa DPR tidak bermaksud menjadikan Bahasa Indonesia sebagai alat pembatas bagi pelaku usaha, melainkan sebagai jaminan bahwa pihak Indonesia memiliki pemahaman yang setara dalam perjanjian internasional.

“Bahasa Indonesia harus dilihat sebagai instrumen perlindungan, bukan instrumen pembatalan. Jangan sampai norma yang baik justru disalahartikan,” pungkasnya. •ujm/rdn