E-Media DPR RI

Arjuna Ungkap Kendala Tata Kelola Keuangan di Papua

Anggota BAKN DPR, Arjuna Sakir, saat mengikuti pertemuan meninjau paparan hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK di Sorong, Papua Barat Daya, Senin (1/12/2025). Foto: Safitri/vel.
Anggota BAKN DPR, Arjuna Sakir, saat mengikuti pertemuan meninjau paparan hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK di Sorong, Papua Barat Daya, Senin (1/12/2025). Foto: Safitri/vel.


PARLEMENTARIA, Sorong 
– Pengawasan yang terbatas dan kemampuan teknis sumber daya manusia yang belum memadai disebut menjadi akar persoalan berbagai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di Tanah Papua. Hal itu diungkapkan Anggota BAKN DPR, Arjuna Sakir, saat meninjau langsung paparan hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK di Sorong, Papua Barat Daya, Senin (1/12/2025).

Dalam penjelasannya, Arjuna menegaskan bahwa proses penilaian opini laporan keuangan di Papua tidak dapat dilepaskan dari kendala struktural yang masih membayangi daerah tersebut. “Jadi, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) itu kan syaratnya pertama adalah sesuai dengan standar. Kepatuhan pada peraturan perundangan. Kemudian, masalah-masalah terkait dengan kendalanya tadi juga menjadi dasar untuk dalam pembangunan opini,” kata Legislator Fraksi Partai Gerindra tersebut..

Menurutnya, beberapa temuan seperti kekurangan volume pekerjaan tidak selalu dipicu oleh kesengajaan, melainkan karena kondisi Papua yang luas dan sulit diawasi secara optimal. “Pengawasan dari dinas terkait, terutama PU, itu terbatas. Sehingga BPK juga melakukan pemeriksaan itu, stressing pada permasalahan atau daerah-daerah yang kemungkinannya terjadi masalah,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa pemeriksaan BPK tidak dapat dilakukan secara menyeluruh. “Pemilihannya itu adalah sampel juga, tidak mungkin seluruhnya diperiksa,” ujar Arjuna.

Meski demikian, Arjuna mengakui bahwa secara makro tata kelola keuangan daerah Papua telah menunjukkan perkembangan positif. Namun, ia menilai masalah mendasar masih berakar pada minimnya sumber daya manusia. “Sumber daya manusia disini sangat terbatas, sehingga pemahaman terkait dengan aturan-aturan itu masih terbatas. Belum lagi kebanyakan tenaga honorer,” ungkapnya. Kondisi geografis dan keamanan turut memperberat pelaksanaan regulasi di lapangan.

Ia kemudian menjelaskan bahwa kondisi tersebut berpengaruh pada hasil opini BPK, terutama bagi daerah yang memperoleh Wajar Dengan Pengecualian (WDP). “Opini Wajar dengan pengecualian secara umum, wajar. Tapi ada akun-akun tertentu yang dikecualikan. Karena temuannya material,” kata dia. 

Arjuna menekankan bahwa akun kas menjadi indikator paling sensitif. “Kalau KAS itu berapa pun nilainya, akan berdampak, itu tetap akan berdampak,” tegasnya.

Lebih jauh, Arjuna menyampaikan bahwa penyelesaian berbagai permasalahan ini tidak hanya dapat dibebankan kepada pemerintah daerah. Ia menilai perlunya koordinasi lintas Kementerian dan Lembaga (K/L) untuk menciptakan perbaikan menyeluruh. 

“BPK punya tugas memeriksa permasalahan-permasalahan yang tidak bisa diselesaikan secara lokal tentu harus diangkat ke permasalahan dari tingkat sektoral,” ujarnya.

Ia juga menilai perlunya kebijakan yang memberikan konsekuensi jelas terhadap penurunan maupun kenaikan opini. “Opini itu ketika turun opini, kan tidak jadi masalah. Harusnya kan ada punishment. Ketika naik kan ada rewardnya. Ada rewardnya tambahan dulu namanya dana insentif daerah. Ketika turun, enggak jadi masalah. Harusnya Mendagri atau Menteri Keuangan juga memberi warning,” tandasnya.

Melalui kesempatan ini, Arjuna memastikan BAKN DPR akan memperkuat peran pengawasan dan mendorong harmonisasi perbaikan di tingkat pusat dan daerah. Tujuannya, agar tata kelola keuangan di Papua dapat setara dengan daerah lain dan tidak lagi terbebani temuan berulang dari tahun ke tahun. •sr/aha