E-Media DPR RI

Perjelas Status Kelembagaan LMKN Sebelum Miliki Kewenangan Penarikan dan Distribusi Royalti!

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Eva Monalisa saat mengikuti RDPU bersama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025). Foto: Munchen/vel.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Eva Monalisa saat mengikuti RDPU bersama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025). Foto: Munchen/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta —
 Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Eva Monalisa menyoroti status kelembagaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dinilai belum memiliki posisi hukum yang tegas antara lembaga negara dan entitas swasta. Menurutnya, ketidakjelasan posisi tersebut berdampak langsung pada akuntabilitas pengelolaan keuangan, termasuk mekanisme audit atas royalti yang dihimpun.

Hal itu disampaikan Eva dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI bersama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dalam rangka harmonisasi RUU tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengenai Hak Cipta di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025). 

“LMK ini kan memang belum jelas status kelembagaannya karena masih di tengah-tengah. Di lembaga negara dia belum benar-benar statusnya, di swasta juga belum. Jadi, yang saya soroti adalah bagaimana dia bisa melakukan pungutan (uang) kalau dia bukan seperti lembaga keuangan yang harus ada auditnya,” ujar Eva.

Legislator asal Jawa Tengah III itu menyatakan bahwa sebelum LMKN diberikan ruang lebih besar untuk melakukan penarikan dan distribusi royalti, perlu ada kepastian terlebih dahulu mengenai sistem pengawasan keuangan yang berlaku. 

Ia mencontohkan beberapa lembaga keuangan formal yang memiliki skema audit terstruktur, mulai dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun dalam konteks LMKN, model pengawasan belum sepenuhnya terdefinisikan. 

Kondisi tersebut dinilai berpotensi menimbulkan celah dalam tata kelola keuangan jika kewenangan penghimpunan royalti terus diperluas tanpa dasar audit yang kuat.

Mengakhiri pemaparannya, Eva berharap pembahasan lanjutan dalam revisi Undang-Undang Hak Cipta dapat memberikan formula yang lebih jelas terkait struktur LMKN maupun sistem audit yang menyertainya sehingga lembaga tersebut dapat menjalankan pengelolaan royalti secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. •ecd/rdn