E-Media DPR RI

Revisi UU Kewarganegaraan Harus Perbaiki Sistem, Bukan Hapus Aturan!

Anggota Komisi XIII DPR RI Mafirion dalam RDP/RDPU Kdengan Dirjen AHU Kementerian Hukum, Dirjen Imigrasi, serta perwakilan HAKAN dan APAB di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025). Foto : Sari/Andri
Anggota Komisi XIII DPR RI Mafirion dalam RDP/RDPU Kdengan Dirjen AHU Kementerian Hukum, Dirjen Imigrasi, serta perwakilan HAKAN dan APAB di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025). Foto : Sari/Andri


PARLEMENTARIA, Jakarta
— Anggota Komisi XIII DPR RI Mafirion menyoroti banyaknya aduan publik terkait kesulitan dalam kebijakan kewarganegaraan dan perkawinan campur. Ia menilai akar persoalan bukan pada penghapusan regulasi, melainkan perlunya perbaikan sistem hukum agar lebih adil dan aplikatif. Menurutnya, revisi harus dilakukan tanpa meniadakan prinsip dasar dalam Undang-Undang.

Hal itu disampaikan Mafirion dalam Rapat Dengar Pendapat dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDP/RDPU) Komisi XIII bersama Dirjen AHU Kementerian Hukum, Dirjen Imigrasi, serta perwakilan Harapan Keluarga Antar Negara (HAKAN) dan Aliansi Perkawinan Antar Bangsa (APAB) di Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (27/11/2025).

“Saya tidak sepakat (dengan aduan ibu-ibu) tadi. Nggak boleh di republik ini ada warga negaranya yang memaksa meniadakan undang-undang. Anak kami jangan diberlakukan Undang-Undang Agraria, jangan diberlakukan Undang-Undang Keimigrasian, itu tidak boleh, Bu. Yang benar adalah kita perbaiki semua undang-undang kita menjadi lebih baik,” ujarnya dalam RDP/RDPU.

Mafirion menyatakan bahwa kritik publik harus menjadi bahan evaluasi dalam pembentukan kebijakan, tetapi tidak dapat dijadikan alasan untuk meniadakan seluruh Undang-Undang. Menurutnya, penyempurnaan regulasi perlu dilakukan dengan pertimbangan rasional, faktual, serta tidak didorong oleh emosi semata.

Selain itu, Mafirion menyoroti bahwa persoalan salah administrasi dalam kasus perkawinan campur tidak serta-merta selalu menjadi kesalahan negara, karena tidak sedikit masalah muncul akibat keterlambatan pengurusan dokumen sejak anak dilahirkan. Oleh karena itu, ia meminta perbaikan sistem dilakukan dengan berbasis fakta dan kronologi nyata.

Mafirion menekankan bahwa UU berlaku untuk semua, mulai dari persoalan hukum agraria, imigrasi, hingga izin kerja. Ia memberi contoh bahwa anak berkewarganegaraan asing yang tumbuh dan bersekolah di Indonesia tetap tidak otomatis dapat bekerja saat dewasa bila memilih berkebangsaan asing karena ketentuan UU Cipta Kerja memang membatasinya.

Catatan Teknis Arah Pembentukan Regulasi terkait OCI-GCI

Masuk ke substansi berikutnya, Mafirion merespons perbandingan antara Global Citizenship Indonesia (GCI) dan Overseas Citizenship of India (OCI). Ia mencatat bahwa OCI telah diberlakukan India sejak 2005, dengan status setara permanent resident namun tanpa hak politik maupun kewarganegaraan penuh, mirip konsep GCI yang baru saja diluncurkan oleh Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) RI.

Ia merinci sejumlah poin pembeda dan ruang perbaikan: 1) GCI & OCI sama-sama tidak memberi hak politik maupun status kewarganegaraan penuh, 2) hak tinggal lebih lama perlu diatur jelas dalam UU, termasuk kemungkinan pembatasan tahun kepemilikan aset bagi diaspora, 3) India memberi masa tinggal permanen dan hak kerja, sementara Indonesia masih membahas ruang kerja selaras UU Cipta Kerja, dan 4) aturan agraria tetap menjadi pagar legal yang tak dapat dilanggar imigrasi sehingga sinkronisasi antar-undang-undang wajib dilakukan.

Mafirion menegaskan bahwa UU Kewarganegaraan harus dibangun bukan untuk memuaskan satu kelompok, melainkan untuk mengakomodasi mereka yang memiliki ikatan ke-Indonesia-an, termasuk diaspora dan keluarga perkawinan campur. Namun, penyusunan regulasi harus tetap tunduk pada struktur hukum nasional.

UU Tak Bisa Diganti dengan Emosi, Perubahan Memerlukan Proses

Lebih jauh, Politisi Fraksi PKB itu mengingatkan bahwa kebijakan negara tidak dapat berubah hanya karena tekanan emosional publik atau media sosial. Menurutnya, proses legislasi harus rasional, terukur, serta berpihak pada rakyat tanpa menafikan batas hukum yang berlaku.

Ia optimistis perbaikan UU nantinya dapat lebih memperhatikan nasib perempuan dan keluarga perkawinan campur, tetapi tetap berada dalam koridor hukum. Legislasi, kata dia, mesti disusun hati-hati, bertahap, dan tidak mungkin selesai seketika.

Menutup pandangannya, Mafirion menyebut bahwa negara melalui Presiden telah menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dalam banyak kasus sehingga ia yakin penyempurnaan UU kewarganegaraan dapat terwujud bila diperjuangkan bersama dan ditempuh melalui jalur regulasi yang tepat. •ecd/rdn