Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian saat meninjau situs Candi Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Jumat (28/11/2025). Foto : Blf/Andri
PARLEMENTARIA, Mojokerto – Candi Trowulan selalu punya cara memanggil kembali ingatan bangsa pada masa kejayaannya. Tanahnya yang merah dan lembap, sisa-sisa bata kuno yang tersembunyi di balik bangunan, hingga wajah-wajah para pamong budaya yang penuh dedikasi. Semuanya menjadi saksi bisu peradaban besar Majapahit yang pernah berdiri megah di sini.
Suasana itu kembali hidup ketika rombongan Panitia Kerja Pelestarian Cagar Budaya DPR RI menapakkan kaki di kawasan bersejarah tersebut.
Dipimpin oleh Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, kunjungan kerja spesifik ini bukan sekadar agenda formal. Ada nuansa pencarian, penggalian pemahaman, dan upaya menyatukan kembali titik-titik sejarah yang tercecer.
Mereka datang bersama Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jawa Timur, bertemu para pegiat budaya, akademisi, pamong, hingga pemerintah daerah. Semata untuk mencari jawaban atas satu pertanyaan besar: apa kabar pelestarian peradaban Majapahit hari ini?!
Saat berdiri di bawah rindang pepohonan Trowulan, Hetifah membagikan pandangannya dengan nada yang penuh penghargaan terhadap kerja para pemelihara situs.
“Trowulan ini dipercaya sebagai sumber kehidupan Majapahit. Hari ini kami berdiskusi dengan komunitas, penggerak budaya, akademisi, dan pemerintah daerah. Masukan-masukannya luar biasa,” tuturnya di situs Candi Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Jumat (28/11/2025).
Masukan itu bukan sekadar keluhan, justru banyak yang membawa harapan. Para akademisi, misalnya, menyampaikan keinginan agar pelestarian tidak berhenti di tahap ekskavasi. Mereka membayangkan Trowulan yang lebih hidup, dengan rekonstruksi yang terukur, interpretasi sejarah yang lebih kuat, dan pemanfaatan yang memberi nilai ekonomi bagi warga.
“Harapannya, bukan hanya ekskavasi. Ada proses rekonstruksi, agar manfaatnya terlihat—bagi ilmu pengetahuan, pelestarian budaya, sekaligus kesejahteraan masyarakat,” lanjut Politisi Fraksi Partai Golkar ini.
Di balik temuan-temuan arkeologis, ada sosok-sosok yang jarang terekspos, yaitu para pamong dan pemelihara situs. Mereka bekerja dalam diam, merawat, membersihkan, dan memastikan sejarah tidak tergerus waktu. Hetifah mengakui bahwa peran mereka sangat besar, meski kesejahteraannya masih jauh dari ideal.
“Kontribusi mereka luar biasa. Tapi status dan kesejahteraannya masih perlu kita perjuangkan bersama,” katanya.
Pernyataan itu mencerminkan keresahan yang sering muncul di berbagai situs budaya yaitu pelestarian yang kuat seringkali bergantung pada tangan-tangan yang justru luput dari perhatian negara.
Panja Pelestarian Cagar Budaya dibentuk sebagai upaya memperkuat implementasi Undang-Undang Cagar Budaya. Kunjungan seperti di Trowulan menjadi bagian penting dari fungsi pengawasan tersebut. Melihat langsung kondisi lapangan, mengidentifikasi hambatan, dan merumuskan rekomendasi yang berbasis realita, bukan asumsi.
“Hasil Panja akan menjadi rekomendasi penting bagi pemerintah agar amanat undang-undang benar-benar terwujud,” ujar Hetifah.
Ia juga membuka kemungkinan untuk memperkuat regulasi melalui revisi undang-undang bila diperlukan. Sebab, pelestarian cagar budaya bukan hanya tentang menjaga masa lalu—tetapi juga memastikan regulasi hari ini cukup kuat untuk melindungi masa depan warisan tersebut.
Trowulan bukan sekadar situs arkeologi. Ia adalah ruang ingatan kolektif bangsa. Di sana tersimpan pelajaran tentang kejayaan, kejatuhan, kepemimpinan, dan peradaban. Kunjungan Panja DPR RI bukan hanya langkah administratif, tetapi juga ikhtiar memastikan bahwa sejarah besar itu tidak memudar. •blf/rdn