Anggota Komisi VI DPR RI, Sadarestuwati saat mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI ke Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, Rabu (26/11/2025). Foto : Ndn/Andri
PARLEMENTARIA, Depok – Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tengah dibahas intensif oleh Komisi VI DPR RI. Bukan sekadar revisi regulasi, melainkan sebuah kebutuhan mendesak yang akan menentukan nasib ekonomi kerakyatan di Indonesia.
Anggota Komisi VI DPR RI, Sadarestuwati, secara tegas menyampaikan bahwa RUU ini harus menjadi benteng pertahanan agar rakyat, khususnya pelaku UMKM, dapat merasakan pertumbuhan ekonomi yang adil. Menurutnya, mustahil pertumbuhan ekonomi dapat bergerak pesat dan merata apabila didominasi oleh korporasi. Sadarestuwati menegaskan bahwa justru pertumbuhan UMKM-lah yang harus didorong untuk menggerakkan perekonomian nasional.
”Kami lebih mendorong UMKM kita untuk bisa berkembang, jangan didominasi oleh korporasi. Bagaimanapun juga, ekonomi akan tumbuh dengan pesat apabila pertumbuhan UMKM ini juga didorong,” ujarnya kepada Parlementaria usai Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI ke Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, Rabu (26/11/2025).
Ia menambahkan kehadiran RUU ini sangat dibutuhkan oleh rakyat, terutama para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), sebagai benteng pertahanan dari praktik monopoli korporasi. Jika regulasi ini tidak segera disahkan dengan perlindungan yang kuat, kekhawatiran terbesar adalah seluruh sektor usaha akan dikuasai oleh segelintir korporasi besar, mematikan geliat UMKM serta membatasi manfaat ekonomi bagi rakyat kecil.
“Kalau tidak, ini semuanya akan dikuasai oleh korporasi. Rakyat kita, UMKM kita tidak akan bisa merasakan dampak apapun. Maka Insyaallah ini akan bisa memberikan manfaat perlindungan untuk semuanya,” papar Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Untuk mencapai tujuan tersebut, RUU ini membawa andalan baru yang paling disorot, yaitu mekanisme sanksi yang jauh lebih berat bagi korporasi yang terbukti melakukan praktik monopoli atau cenderung ke arah persaingan usaha tidak sehat. Sadarestuwati menyambut baik adanya sanksi baru yang dinilai lebih efektif dalam memberikan efek jera tersebut.
Perubahan drastis terletak pada penetapan denda. Diketahui, dalam aturan lama, hanya mematok sanksi denda di kisaran Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar—angka yang relatif kecil bagi korporasi raksasa. Tetapi, dalam RUU baru tersebut kini denda akan dihitung berdasarkan persentase tertentu dari hasil produksi atau persentase dari total penjualan korporasi yang melanggar.
Sistem denda berbasis persentase ini, menurut Sadarestuwati, akan memberikan angin segar dan harapan bagi pelaku UMKM. Ia mendorong agar para pelaku UMKM terus semangat dan tidak gentar bersaing dengan korporasi besar, karena RUU ini dirancang untuk menciptakan lapangan persaingan yang setara.
Pembahasan RUU ini didorong oleh masukan positif dari para pakar dan akademisi. Sadarestuwati menyimpulkan bahwa semangat RUU ini adalah mewujudkan keyakinan bahwa pertumbuhan perekonomian didorong melalui pertumbuhan UMKM, sebab dengan semakin tumbuhnya UMKM, pergerakan keuangan di tingkat bawah akan tumbuh lebih cepat.
Pada akhirnya, Sadarestuwati memastikan bahwa setiap pasal dan ayat yang dihasilkan dari RUU ini harus sepenuhnya berpihak kepada rakyat. Hal ini merupakan langkah fundamental untuk memastikan bahwa ekonomi Indonesia adalah milik bersama dan kemajuan bangsa berada di tangan seluruh rakyat.
“Kita berikan satu perlindungan undang-undang yang di mana apa yang disampaikan oleh Pak Prabowo soal ekonomi kerakyatan bisa diwujudkan. Karena kalau tidak bakal dikuasai korporasi. Rakyat kita atau UMKM kita tidak bakal merasakan apa pun. Maka Insyallah undang-undang ini akan bisa memberikan perlindungan,” ujarnya. •ndn/rdn