E-Media DPR RI

Komisi VI Siapkan Regulasi Atasi Persaingan Usaha Tak Sehat Akibat Predatory Pricing

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Adisatrya Suryo Sulisto dalam Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI ke Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, Rabu (26/11/2025). Foto : Ndn/Andri.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Adisatrya Suryo Sulisto dalam Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI ke Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, Rabu (26/11/2025). Foto : Ndn/Andri.


PARLEMENTARIA, Depok 
– Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang tengah disusun oleh Komisi VI DPR RI secara khusus menyoroti tantangan kompleks yang timbul dari praktek predatory pricing.

Realitas praktek curang ini semakin meluas sehingga menuntut adanya payung hukum yang lebih adaptif dan kuat. Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Adisatrya Suryo Sulisto, menjelaskan bahwa predatory pricing, didefinisikan sebagai praktik menjual barang di bawah harga pokok produksi, kini semakin sulit dideteksi dan ditindak akibat kerumitan pasar global dan digital. Dahulu, perhitungan harga produksi barang fisik, seperti baju, relatif mudah karena adanya standar industri.

“Realitasnya sekarang memang. Praktek predatory pricing ini sudah sangat meluas–menjual barang di bawah harga buatnya, harga produksinya,” terang Adisatrya saat diwawancara usai pertemuan dengan berbagai pihak untuk menyerap aspirasi penyusunan RUU dalam Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI ke Kota Depok, Provinsi Jawa Barat, Rabu (26/11/2025). 

​Kompleksitas semakin bertambah dengan hadirnya dunia digital dan marketplace daring. Persaingan kini beralih ke ranah e-commerce, di mana marketplace saling menjatuhkan dengan berbagai promo yang berkelanjutan, bukan hanya pada momen-momen tertentu, seperti ongkir gratis atau promo 11.11 dan 10.10.

​Promosi-promosi ini menjadi alat untuk merebut traffic atau aliran kunjungan pengguna. Semakin banyak traffic yang didapatkan oleh platform tertentu, semakin banyak pula data masif (big data) yang mereka kumpulkan.

​Penguasaan big data ini, lanjut Adisatrya, menghasilkan algoritma canggih yang mampu menentukan perilaku (behavior) belanja konsumen. Dengan data yang sedemikian masif, platform digital tersebut bukan hanya unggul satu langkah, tetapi bisa mencapai 10 langkah di depan kompetitor kecil lainnya.

“Ini menjadi perhatian juga karena semakin banyak traffic melalui platform tertentu, dia akan mendapatkan data yang luar biasa banyak dan mendapatkan data berarti mendapatkan algoritma yang bisa menentukan berdasarkan behavior perilaku dari konsumen,” ujarnya.

Menurutnya, kekuatan data dan algoritma ini berpotensi disalahgunakan untuk mengurangi kompetisi yang sehat dan bahkan merugikan konsumen. Oleh karena itu, RUU Persaingan Usaha harus mampu menjawab bagaimana mencegah platform-platform besar ini menyalahgunakan kekuatan dominan mereka di era digital. •ndn/aha