E-Media DPR RI

RUU Pengelolaan Ruang Udara Tegaskan Kedaulatan dan Pemanfaatan Teknologi Dirgantara

Anggota Komisi I DPR RI Endipat Wijaya saat menyampaikan laporan Panitia Khusus mengenai hasil pembicaraan tingkat I RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara dalam rapat paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Selasa (25/11/2025). Foto: Azka/vel.
Anggota Komisi I DPR RI Endipat Wijaya saat menyampaikan laporan Panitia Khusus mengenai hasil pembicaraan tingkat I RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara dalam rapat paripurna DPR RI di Gedung Nusantara II, Selasa (25/11/2025). Foto: Azka/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Pemanfaatan ruang udara untuk kepentingan nasional kini memiliki pijakan hukum baru. DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara menjadi undang-undang (UU) dalam rapat paripurna DPR RI yang diselenggarakan pada Selasa (25/11/2025) di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.

RUU Pengelolaan Ruang Udara menegaskan ruang udara perlu dikelola secara sinergis, tidak hanya oleh negara tetapi juga dengan melibatkan masyarakat. Mereka berperan dalam penyampaian pendapat terkait kegiatan yang berdampak pada lingkungan serta turut menjaga ketertiban, keselamatan, dan keamanan penggunaan ruang udara.

“RUU ini menegaskan bahwa masyarakat berperan dalam pengelolaan ruang udara antara lain melalui penyampaian pendapat terkait kegiatan yang berdampak penting pada lingkungan serta menjaga ketertiban, keselamatan, dan keamanan pemanfaatan ruang udara,” ujar Anggota Komisi I DPR RI Endipat Wijaya saat menyampaikan laporan Panitia Khusus mengenai hasil pembicaraan tingkat I RUU tentang Pengelolaan Ruang Udara dalam rapat tersebut.

Aturan ini juga memperkuat arah pemanfaatan ruang udara untuk kegiatan ekonomi, budaya, pendidikan, olahraga kedirgantaraan, serta pengembangan teknologi keudaraan. Pemanfaatannya harus memberikan nilai strategis, mulai dari mendukung pariwisata hingga memperkuat inovasi teknologi informasi dan komunikasi.

RUU tersebut turut menegaskan pentingnya kerja sama penguasaan teknologi kedirgantaraan baik secara nasional maupun internasional. Kolaborasi dengan negara lain dipersyaratkan tetap mengutamakan kepentingan nasional, terutama dalam layanan udara, penegakan hukum, serta peningkatan pertahanan di kawasan regional.

Konsep Flexible Use of Airspace juga menjadi salah satu pokok krusial. Penetapan kawasan udara harus memperhatikan kebutuhan operasional penerbangan sipil, dan tidak lagi membagi ruang udara secara kaku. Fleksibilitas ini diharapkan mampu menciptakan tata kelola yang efisien dan adaptif terhadap teknologi baru.

RUU ini mengatur mekanisme penindakan pelanggaran wilayah udara yang semakin kompleks. Negara membutuhkan dasar hukum lebih kuat untuk merespons dinamika ancaman kedirgantaraan, termasuk dalam penataan perizinan riset asing yang wajib bermitra dengan lembaga nasional dan melibatkan peneliti Indonesia.

“Riset oleh perguruan tinggi asing, lembaga penelitian dan pengembangan asing, badan usaha asing, dan/atau warga negara asing harus mendapatkan perizinan sesuai peraturan, bermitra dengan dalam negeri, serta mengikutsertakan peneliti Indonesia,” lanjut anggota KOmisi I DPP RI yang merupakan Pimpinan Pansus Pengelolaan Ruang Udara.

Substansi berikutnya memperjelas kewenangan penyidikan tindak pidana di bidang pengelolaan ruang udara. Penyidikan dilakukan oleh Kepolisian dan penyidik pegawai negeri sipil sesuai peraturan, sementara penyidik TNI AU memiliki kewenangan khusus pada kawasan udara terlarang dan area militer.

RUU juga menetapkan ketentuan pemidanaan untuk memberikan efek jera terhadap pelanggaran ruang udara Indonesia. Ketentuan ini dirancang untuk menutup celah hukum sekaligus memperkuat kedaulatan negara di udara.

Proses penyusunan regulasi ini berlangsung panjang lintas periode DPR RI. Dimulai pada 2019–2024 dan berstatus carry over dalam Prolegnas 2025, pembentukan pansus kembali disahkan pada 6 Maret 2025. 

Pembahasan RUU Pengelolaan Ruang udara dilakukan melalui rangkaian rapat dengan kementerian terkait, maskapai penerbangan, akademisi, pakar kedirgantaraan, serta penyerapan aspirasi melalui portal resmi dan kunjungan ke daerah. Seluruh masukan tersebut diformulasikan dalam regulasi berisi 8 bab dan 63 pasal, dengan total 581 DIM yang dibahas bersama pemerintah. •uc/aha