E-Media DPR RI

Pentingnya Penyusunan Ulang Sejumlah Ketentuan dalam RUU Pemerintahan Aceh

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Nasir Djamil. Foto: Munchen/vel.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Nasir Djamil. Foto: Munchen/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 — Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Nasir Djamil menekankan pentingnya penyusunan ulang sejumlah ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya yang berkaitan dengan rujukan MOU Helsinki serta tata kelola dana otonomi khusus (Otsus). 

Nasir kemudian menjelaskan kembali latar belakang MOU Helsinki yang pada masa perundingan tidak diangkat sebagai perjanjian internasional karena pertimbangan konstitusi. “Waktu itu ada keinginan disebut sebagai perjanjian internasional, tetapi rujukannya Pasal 11 Ayat 2 UUD mengharuskan persetujuan DPR. Secara politik itu bisa memakan waktu lama, sehingga akhirnya disepakati menggunakan istilah Nota Kesepahaman,” jelasnya dalam Rapat Panja Baleg DPR RI di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (25/11/2025).

Karena itu, ia menilai pengaturan dalam RUU perlu memuat pasal-pasal yang selaras dengan substansi kesepakatan damai tersebut. “Ketika kunjungan ke daerah, selalu ada yang menyampaikan bahwa pengaturan saat ini belum sesuai MOU Helsinki. Maka perlulah dipertimbangkan untuk dicantumkan,” tambahnya.

Terkait isu dana otonomi khusus, Nasir menegaskan bahwa Aceh sejak lama mengharapkan adanya formula baru terkait besaran dan mekanisme pengelolaan dana Otsus. Ia menyebut aspirasi itu telah beberapa kali disampaikan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, termasuk kepada Presiden terpilih. “Bagaimana kelanjutan daripada keinginan itu tentu menjadi kewenangan DPR untuk memberikan keputusan,” katanya.

Ia turut menyinggung persoalan pelimpahan kewenangan yang belum diikuti dukungan pendanaan memadai. “Waktu itu ada keinginan agar kewenangan mengelola pelabuhan, bandara, madrasa ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah diikuti pemberian dana. Tetapi sampai saat ini itu tidak pernah terjadi,” ujarnya.

Nasir juga menyoroti besarannya dana Otsus Aceh yang telah digelontorkan sejak 2008 hingga 2024, yang menurutnya mencapai lebih dari Rp106 triliun. Namun, dana sebesar itu dinilai belum berdampak signifikan terhadap penurunan kemiskinan. Karena itu, sejumlah kelompok masyarakat Aceh mengusulkan pembentukan badan khusus yang mengelola dana Otsus, tidak menggunakan mekanisme APBA/APBD.

“Ada yang mencontoh model Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh–Nias, yang waktu itu mengelola dana dalam dan luar negeri dengan mekanisme tersendiri,” jelasnya.

Ia menilai mekanisme khusus tersebut dapat dipertimbangkan kembali dalam penyusunan RUU. “Seperti apa badannya nanti bisa kita rumuskan di Baleg. Kita semua sedang membuat politik hukum, artinya kebijakan resmi negara terkait perubahan UU Pemerintahan Aceh,” tegasnya.

Adapun dalam pemaparannya, Nasir juga menyampaikan apresiasi kepada tenaga ahli Baleg yang memaparkan pokok-pokok perubahan UU Pemerintahan Aceh. Ia sepakat dengan usulan agar setiap gagasan perubahan dicantumkan secara spesifik pihak pengusulnya.

“Saya juga ingin menambah, mudah-mudahan nanti dalam tabel itu juga ada butir-butir MOU Helsinki. Bisa jadi pasal itu diadopsi atau diformulasi ulang dari MOU Helsinki,” ujarnya.

Nasir menutup pandangan dengan menyampaikan bahwa Baleg perlu memastikan seluruh ketentuan dalam RUU berorientasi pada efektivitas pemerintahan, kepastian hukum, dan kesejahteraan masyarakat Aceh. •hal/aha