Anggota Komisi VI DPR RI, Kawendra Lukistian, saat mengikuti RDPU dengan sejumlah pakar dan praktisi, di Gedung Nusantara I, Selasa (25/11/2025). Foto: Farhan/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Konsentrasi untuk menyelamatkan industri baja nasional dinilai tidak cukup hanya dengan melindungi pasar dari serbuan produk impor. Permasalahan mendasar justru berada pada ketersediaan dan pengelolaan bahan baku yang saat ini masih bergantung pada pemasokan dari luar negeri. Dalam rapat dengar pendapat umum Komisi VI DPR RI, muncul dorongan agar negara melalui BUMN dapat turun tangan mengurus bijih besi dan memperkuat rantai pasok baja dari hulu ke hilir.
Melalui Rapat Dengar Pendapat Umum dengan sejumlah pakar dan praktisi, Komisi VI mendapatkan masukan terkait potensi dan eksplorasi bahan baku baja di Indonesia. RDPU yang digelar pada Selasa (25/11/2025) di Gedung Nusantara I Senayan Jakarta itu dihadiri oleh perwakilan dari Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia; Ikatan Ahli Geologi Indonesia; Asosiasi Profesi Metalurgi Indonesia; dan Ikatan Alumni Teknik Geologi ITB.
Anggota Komisi VI DPR RI, Kawendra Lukistian, menilai kebutuhan inovasi dan penguatan industri baja harus segera ditindaklanjuti. Persoalan daya saing baja saat ini menurutnya berakar pada ketergantungan impor bahan baku sehingga harga produk baja dalam negeri lebih mahal dibandingkan produk asing.
“Kemarin kita ini konsennya adalah bagaimana menyelamatkan industri baja nasional. Kenapa? Karena saat ini digempur oleh produk luar dan harga kita tidak bisa bersaing. Ketika ditarik lagi, kenapa? Bahan bakunya kita mesti narik lagi dari luar,” ujar Kawendra dalam rapat.
Ia menegaskan bahwa optimisme justru semakin muncul setelah masukan para ahli menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cadangan bahan baku potensial. Namun pemanfaatannya membutuhkan proses tambahan, inovasi, dan dukungan kebijakan yang jelas dari pemerintah untuk memperkuat struktur industri baja nasional dari hulu.
Dalam forum tersebut, perwakilan Ikatan Ahli Geologi Indonesia memaparkan bahwa penggunaan material lokal seperti laterit besi, pasir besi, bijih primer hingga iron slag membutuhkan pretreatment tambahan di Krakatau Steel. Selain itu, dibutuhkan penambahan fasilitas steel mill sebagai proses lanjutan agar produksi bisa optimal dan efisien.
Kawendra juga menyoroti problem blast furnace di Krakatau Steel yang sempat menjadi isu hukum, namun menurutnya tetap perlu didukung sebagai bagian penguatan industri, bukan justru diabaikan.
“Kalau kita bicara soal Krakatau Steel, baru ada dua tadi yang di kotak merah itu, tapi masih ada yang harus dipenuhi yang lainnya. Kalau kita merunut kepada case beberapa waktu lalu, di Krakatau Steel itu yang menjadi permasalahan salah satunya adalah blast furnace,” lanjut politisi Fraksi partai gerindra itu.
Ia berharap para ahli memberikan rekomendasi yang dapat mendorong pembenahan teknologi, proses produksi, dan tata kelola Krakatau Steel agar mampu memanfaatkan material lokal secara lebih optimal.
Dorongan lain yang mengemuka adalah perlunya BUMN khusus yang fokus mengurus bijih besi nasional. Kawendra menilai Indonesia memiliki banyak entitas BUMN, namun belum satu pun yang secara khusus menjalankan mandat ini.
“Saya rasa mungkin kita perlu memberikan dorongan atau lebih memaksa bahwa BUMN kita, nanti yang di bawah Danantara ini entah apa, kita pikirkan entah MIND ID bersama ANTAM dan lain-lain untuk memikirkan soal bijih besi ini, yang konsen ke sana. Masa dari seribu sekian BUMN kita tidak ada yang konsen ke bijih besi?” tegasnya.
Menurutnya, kebutuhan baja nasional akan terus meningkat seiring pembangunan infrastruktur dan target Indonesia menuju negara maju. Karena itu, negara harus berpihak untuk memperkuat industri baja domestik, termasuk turunannya. Kawendra menekankan bahwa pembangunan nasional membutuhkan baja dalam jumlah besar, sehingga pemerintah harus memastikan pasokan bahan baku tersedia dan industrinya berdiri kokoh.
“Sementara kalau kita lihat turunannya, kebutuhannya semuanya ada. Indonesia membutuhkan itu. Apalagi kita mau menjadi negara maju, pembangunan luar biasa di mana-mana, bukan hal yang bisa kita nampikan, kita butuh baja.”
Ia menambahkan, persoalan ini bukan sekadar urusan bisnis, tetapi bentuk keberpihakan untuk kemandirian industri nasional. Dengan dorongan kebijakan, inovasi, serta penguatan peran BUMN, industri baja Indonesia diyakini mampu bersaing dan tidak lagi bergantung pada impor bahan baku. •uc/aha