Wakil Ketua Komisi III DPR RI Sari Yuliati menyampaikan keterangan resmi DPR RI atas permohonan uji materiil UU No.12 Tahun 1980. Hal disampaikan secara virtual di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025). Foto : Sari/Andri.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Wakil Ketua Komisi III DPR RI Sari Yuliati menyampaikan keterangan resmi DPR RI atas permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam perkara Nomor 176 dan 191/PUU-XXIII/2025. Keterangan tersebut disampaikan kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara virtual dari Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).
Mengawali keterangannya, Sari memaparkan bahwa secara historis UU 12/1980 disusun berdasarkan struktur lembaga negara sebelum amandemen UUD 1945. Pada masa itu, istilah “lembaga tertinggi” dan “lembaga tinggi negara” merujuk pada MPR, DPR, DPA, BPK, dan MA. Meskipun struktur tersebut telah berubah pascaamandemen, DPR menilai perubahan UUD 1945 tidak secara otomatis membatalkan norma dalam UU tersebut.
“Secara konstitusional, perubahan pada struktur dan kedudukan lembaga negara pasca perubahan UUD 1945, ketentuan UU 12/1980 masih tetap diberlakukan sepanjang lembaga-lembaga negara tersebut masih ada setelah adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945,” tegas Sari.
Sari menjelaskan bahwa pemaknaan istilah “lembaga tinggi negara” dan “anggota lembaga tinggi negara” tidak dapat dilakukan secara terpisah atau sempit, tetapi harus dibaca secara sistematis dengan keseluruhan norma di dalam UU 12/1980 dan dengan kerangka konstitusional saat ini. Setelah amandemen UUD 1945, struktur lembaga tinggi negara terdiri dari MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, dan MK. Dengan demikian, menurutnya, penyebutan lembaga tinggi negara dalam UU 12/1980 harus dimaknai sebagai lembaga negara dalam UUD NRI Tahun 1945 yang berlaku saat ini.
Pemberian Pensiun Bukan Privilese
Masuk pada pokok keberatan para pemohon mengenai skema pensiun Anggota DPR, Sari menegaskan bahwa pemberian pensiun bukanlah privilese, melainkan hak konstitusional yang melekat pada jabatan pejabat negara dan memiliki dasar pemotongan iuran sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56 Tahun 1974 yang telah diubah dengan Keppres Nomor 8 Tahun 1977. Ia menekankan bahwa setiap pejabat negara, termasuk Anggota DPR, dikenai pemotongan penghasilan setiap bulan untuk iuran pensiun, sebagaimana berlaku pada profesi lain dalam sistem kepegawaian negara.
Terkait besaran pensiun, Sari menjelaskan bahwa UU 12/1980 justru mengatur mekanisme yang ketat dan proporsional. Norma dalam Pasal 13 mengatur bahwa besaran pensiun ditentukan berdasarkan lamanya masa jabatan dengan rumus 1 persen per bulan dari dasar pensiun. UU juga mengatur batas minimum 6 persen dan maksimum 75 persen dari dasar pensiun.
“(Sistem ini) mencerminkan prinsip reward based on service performed, artinya pemberian hak pensiun tetap mendasarkan pada lamanya pengabdian dan bukan semata-mata pemberian manfaat tanpa ukuran,” kata Sari.
Ia memberi contoh bahwa anggota DPR yang menyelesaikan masa jabatan penuh 5 tahun hanya memperoleh 60 persen dari dasar pensiun. Angka maksimum 75 persen hanya tercapai jika akumulasi jabatan berlangsung selama 6 tahun 3 bulan. Simulasi perhitungan tertinggi yang dihitung berdasarkan ketentuan UU menunjukkan angka Rp3.780.000 per bulan. Menurutnya, hal ini membuktikan bahwa sistem pensiun diatur secara terukur dan memiliki pengaman fiskal.
Tidak Semua Terima Pensiun
Sari juga menyoroti bahwa tidak semua mantan Anggota DPR menerima pensiun karena banyak anggota melanjutkan masa jabatan pada periode berikutnya. Ia mengutip Data Sekretariat Jenderal DPR per Oktober 2024 yang menunjukkan bahwa 52,9 persen Anggota DPR merupakan petahana. Dengan demikian, pensiun hanya diberikan kepada mereka yang benar-benar berhenti dengan hormat, bukan kepada seluruh mantan anggota secara otomatis.
Menanggapi perbandingan profesi yang diajukan pemohon, Sari menegaskan bahwa membandingkan jabatan Anggota DPR dengan ASN, tenaga profesional, atau pekerja swasta merupakan perbandingan yang tidak setara. Menurutnya, fungsi konstitusional anggota DPR, risiko jabatan, dan sifat masa jabatan yang fixed-termmembuat skema hak keuangan tidak dapat disamakan dengan profesi lainnya.
Sari juga menjelaskan mengenai ketentuan pensiun bagi keluarga apabila penerima hak meninggal dunia. Ia menegaskan bahwa mekanisme pensiun terusan merupakan praktik umum dalam berbagai rezim kepegawaian nasional maupun internasional, seperti sistem pensiun Jepang (izoku kiso nenkin) dan Korea. Namun, UU 12/1980 tetap memberikan batasan karena ahli waris hanya menerima setengah dari besaran pensiun yang diterima penerima hak sebelumnya. Menurut Sari, hal ini menunjukkan bahwa UU 12/1980 tetap mengedepankan prinsip proporsionalitas dan kehati-hatian fiskal.
Tidak Relevan Dibandingkan dengan Alokasi Pendidikan
Lebih jauh, Sari juga menilai tidak tepat apabila pemohon mengaitkan pemberian pensiun Anggota DPR dengan isu alokasi anggaran pendidikan dan pembangunan. Sari menjelaskan bahwa penganggaran negara bekerja dengan prinsip money follows program sehingga setiap anggaran dialokasikan berdasarkan program prioritas nasional, termasuk pendidikan dan infrastruktur. Sementara itu, pemberian hak pensiun adalah konsekuensi hukum dari kewajiban negara terhadap pejabat publik sebagaimana sistem keuangan negara.
Untuk memperkuat pernyataannya, Sari mengutip Putusan MK Nomor 41/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa keberlakuan UU 12/1980 tidak serta-merta hilang hanya karena perubahan UUD 1945. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut, MK menyatakan bahwa “UU 12/1980 yang menurut pemohon sudah ketinggalan zaman tidak serta-merta bertentangan dengan UUD 1945.”
Menutup keterangannya, Sari menyampaikan petitum DPR RI yang pada intinya menyerahkan sepenuhnya penilaian konstitusionalitas pasal-pasal a quo kepada Majelis Hakim MK. “DPR RI menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua dan Majelis Hakim Konstitusi mengenai konstitusionalitas pasal a quo, mohon putusan yang seadil-adilnya,” pungkasnya. •ecd/rdn