Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan saat memimpin Rapat Panja Pembahasan Hasil Kajian Tim Ahli di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025). Foto: Geraldi/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menegaskan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan kedudukan dan fungsi Lembaga Pelindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pelindungan Saksi dan Korban. Ia menyebutkan bahwa konsep harmonisasi yang disusun Tim Ahli Baleg telah berjalan baik, namun tetap diperlukan ketelitian dalam memaknai LPSK sebagai lembaga penegakan hukum.
Ia mengingatkan bahwa keterangan saksi dan korban merupakan bagian dari lima alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP. Maka dari itu, posisi LPSK tidak boleh menimbulkan tafsir seolah-olah lembaga tersebut adalah aparat penegak hukum baru. “Dalam definisi awal tidak ada pernyataan bahwa aparat LPSK merupakan aparat penegak hukum. Lembaganya dapat dikatakan bagian dari penegakan hukum dalam konteks melindungi alat bukti, namun bukan berarti personilnya adalah aparat,” ujarnya saat Rapat Panja Pembahasan Hasil Kajian Tim Ahli di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).
Maka dari itu, Ia menekankan perlunya kejelasan agar tidak muncul ‘dualisme penegak hukum’ yang berpotensi membingungkan proses penyidikan dan penyelidikan.
Bob Hasan juga menyoroti ketentuan pasal 5 ayat (4) terkait pelaksanaan perlindungan pada setiap tingkat pemeriksaan. Ia menilai frasa proses peradilan dalam rancangan belum memiliki penjelasan memadai. Menurutnya, pemeriksaan di tingkat penyelidikan dan penyidikan merupakan bagian dari proses pre-adjudication, sementara tahap penuntutan hingga pengadilan masuk dalam sistem adjudication.
“Keduanya tetap bagian dari sistem peradilan, meskipun proses praperadilan berada pada wilayah yang secara teknis belum masuk pengadilan,” jelasnya.
Ia meminta agar penjelasan tersebut dirumuskan ulang secara rinci dalam ketentuan umum agar implementasi di lapangan tidak menimbulkan interpretasi berbeda. Bob Hasan juga memberi catatan mengenai istilah sahabat saksi. Sebab menurutnya, istilah tersebut belum memiliki definisi jelas. Ia menyebut bahwa istilah serupa dalam praktik hukum, seperti amicus curiae atau sahabat peradilan, memiliki fungsi spesifik yang tidak bisa disamakan begitu saja.
“Kalau sahabat saksi ini siapa? Apakah yang memastikan kualitas kesaksian? Ini harus jelas,” tegasnya.
Lebih jauh, Bob Hasan menyampaikan perlunya konsistensi dalam perubahan nomenklatur dari “perlindungan” menjadi “pelindungan”, serta perubahan istilah “saksi korban” menjadi “saksi dan korban”. Ia menilai, perbaikan redaksional tersebut harus diikuti dengan penegasan konsepsi agar perubahan regulasi tidak sekadar kosmetik, tetapi benar-benar memberikan manfaat bagi sistem peradilan pidana.
Ia juga mengingatkan bahwa penyusunan RUU ini tidak dapat dilakukan sekadar sebagai bagian dari mekanisme harmonisasi biasa, karena menyangkut objek dan subjek hukum dalam hukum acara. “Ini bicara soal hukum acara juga. Jadi pendalaman harus dilakukan secara komprehensif,” pungkasnya. •hal/aha