E-Media DPR RI

Dadang Naser Minta Kemenhut Perkuat Manajemen Kehutanan dan Evaluasi Kebijakan Hutan Sosial–KHDPK

Anggota Komisi IV DPR RI Dadang M. Naser saat mengikuti Rapat Kerja bersama Menteri Kehutanan di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025). Foto: Oji/vel.
Anggota Komisi IV DPR RI Dadang M. Naser saat mengikuti Rapat Kerja bersama Menteri Kehutanan di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025). Foto: Oji/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Anggota Komisi IV DPR RI Dadang M. Naser meminta Kementerian Kehutanan memperkuat manajemen pengelolaan hutan nasional pada pelaksanaan anggaran tahun 2025 dan penyusunan program 2026. Hal tersebut ia sampaikan dalam Rapat Kerja bersama Menteri Kehutanan di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

Dadang mengawali pandangannya dengan menyampaikan apresiasi atas capaian enam penghargaan yang diraih Kementerian Kehutanan sepanjang tahun 2025. Ia menilai pencapaian tersebut mencerminkan kinerja positif kementerian. “Ini adalah prestasi yang luar biasa yang menunjukkan kinerja Pak Menteri bersama jajaran,” ujarnya saat rapat berlangsung.

Namun demikian, Dadang menegaskan perlunya penguatan manajemen perhutanan, mengingat hutan memiliki fungsi ekonomi sekaligus ekologis. Ia menyoroti kondisi hutan di Pulau Jawa, termasuk persoalan hutan sosial dan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) yang hingga kini masih menyisakan tumpang tindih pengelolaan di lapangan.

Ia menilai, persoalan tersebut berpotensi menimbulkan klaim kepemilikan dari masyarakat, padahal hutan merupakan aset negara. Dadang juga mengingatkan potensi penyimpangan apabila kebijakan reforma agraria di sektor kehutanan tidak diikuti pengawasan yang ketat.

“Kalau sertifikat dikasihkan, ada harapan reforma agraria di bidang kehutanan. Ini mesti diwaspadai karena bisa berdampak yang fatal ketika kebijakan tidak dibarengi evaluasi yang ketat,” tegasnya.

Ia menyebut kondisi hutan Jawa rentan terhadap bencana, terlebih setelah sekitar 1,1 juta hektare lahan perhutani terdampak kebijakan KHDPK. Jumlah itu disebutnya hampir separuh dari total kawasan hutan perhutani di Jawa.

“Luasan hutan di Jawa 2,3 sampai 2,4 juta hektare,  namun temponya di kebijakan, tadinya untuk kesejahteraan rakyat, tapi ini yang mesti dievaluasi antara hutan sosial dan KHDPK,” imbuhnya

Selain itu, Dadang menyoroti belum optimalnya strategi peningkatan status hutan lindung menjadi hutan nasional pada rencana kerja tahun 2026. Padahal, menurutnya, keberadaan hutan nasional sangat penting untuk perlindungan daerah aliran sungai dan stabilitas lingkungan, sebagaimana contoh Taman Hutan Raya (Tahura) di Bandung. “Di sini belum kelihatan ada program hutan nasional. Berapa yang harus ditingkatkan?” katanya.

Ia juga menilai perlu ada pola pengamanan hutan yang lebih kuat, termasuk melalui kerja sama dengan TNI. Adapun sejumlah negara seperti Korea Selatan dan Brasil menjadi salah satu yang ia jadikan rujukan dalam mengatasi kerusakan hutan. “Tentara punya strategi operasi militer  perang. Tentara perlu hutan. Tentara juga harus bantu teritorial,” ujarnya.

Ia juga menekankan bahwa pola kerja sama tersebut belum terlihat pada dokumen rencana tahun 2026. Maka dari itu, ia mendorong adanya kolaborasi dengan sektor swasta untuk rehabilitasi hutan berbasis ekonomi.

“Kita kuatkan kerjasama dengan pihak swasta untuk menghasilkan hutan yang berbasis ekonomi. Salah satunya adalah pohon Polonia atau tanaman-tanaman lain yang bisa diproduksi,” pungkasnya.

Di akhir, ia pun berpesan agar hutan tidak dijadikan penopang pangan non-hutan serta agar  pembangunan pangan tidak membebani hutan, terutama pada wilayah dengan kemiringan di atas 30 derajat. 

“Dimohon itu tidak dilakukan dengan tanaman-tanaman satu musim.Itu harus tanaman yang berkelanjutan, yang berbasis agroforestri. Itu harus dikuatkan di sini dalam strateginya. Itu termasuk solusi dalam bentrokan antara Kehutanan Sosial dan KHDPK yang harus dievaluasi karena ada tumpang tinggi kepemilikan,” imbuhnya. •hal/aha