E-Media DPR RI

RUU Pangan Harus Perkuat Hilirisasi dan Kurangi Ketergantungan Impor

Anggota Komisi IV DPR RI, Dadang M. Naser, saat Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI Masa Sidang II Tahun Sidang 2025–2026, ke Provinsi Bali, Jumat (21/11/2025). Foto: Eko/vel.
Anggota Komisi IV DPR RI, Dadang M. Naser, saat Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI Masa Sidang II Tahun Sidang 2025–2026, ke Provinsi Bali, Jumat (21/11/2025). Foto: Eko/vel.


PARLEMENTARIA, Denpasar 
— Anggota Komisi IV DPR RI, Dadang M. Naser, menegaskan pentingnya penguatan hilirisasi dan perlindungan produk pangan dalam negeri sebagai bagian dari pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Hal tersebut disampaikan saat Kunjungan Kerja Komisi IV DPR RI Masa Sidang II Tahun Sidang 2025–2026, ke Provinsi Bali, Jumat (21/11/2025).

Kunjungan ini dalam rangka menyerap aspirasi dan memperdalam substansi RUU Pangan yang tengah disusun. Dalam pertemuan tersebut hadir pula Kepala Badan Rekayasa Genetik dan Peningkatan Kualitas Bibit Pertanian (BRMP), Prof. Fadjri Djufry.

Dadang menyoroti temuan strategis terkait inovasi bibit unggul serta peluang penguatan kemandirian pangan nasional. Menurutnya, upaya mencapai kedaulatan pangan sebagaimana menjadi visi Presiden Prabowo Subianto, harus dimulai dari perlindungan produk hilir para petani dan penyerapan hasil riset lembaga-lembaga pertanian nasional.

“Selama ini kita terus bicara soal kemandirian pangan, tetapi perlindungan terhadap produk hilir para petani belum optimal. Hari ini kita menemukan banyak hal yang bisa masuk dalam penguatan regulasi, terutama bagaimana undang-undang harus melindungi pangan dalam negeri agar kita tidak terlalu bergantung pada impor,” ungkap Politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Impor Terigu Capai Rp57 Triliun per Tahun

Dadang menyoroti salah satu isu krusial, yakni tingginya impor terigu Indonesia yang mencapai sekitar Rp50–57 triliun per tahun. Menurutnya, ketergantungan ini harus dikurangi minimal 30 persen melalui kewajiban pencampuran bahan baku lokal dalam industri makanan berbasis terigu, seperti mie instan, roti, dan produk olahan lainnya.

“Ada sorgum, tepung tapioka, tepung sagu, dan tepung beras. Ini bisa dipadukan. Kita tidak boleh membiarkan lidah bangsa kita terlalu bergantung pada terigu impor,” tegasnya.

Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa potensi pengembangan sorgum, sagu, dan singkong di Indonesia sangat besar. Pada tahun 2024, luas tanam sorgum mencapai lebih dari 15 ribu hektare secara nasional, sementara produksi sagu Indonesia telah menyentuh lebih dari 5 juta ton per tahun—menjadikan Indonesia penghasil sagu terbesar di dunia. Namun, pemanfaatannya masih minim karena belum masuk dalam rantai industri utama.

Hasil Riset BRMP Harus Diserap Kementerian Terkait

Dadang juga menyoroti perlunya sinkronisasi lintas kementerian dalam penyerapan bibit unggul hasil riset BRMP. Ia mencontohkan temuan varietas kelapa unggul yang mampu berbuah dalam 2,5–3 tahun, jauh lebih cepat dibanding kelapa dalam konvensional yang membutuhkan 6–7 tahun.

“Jangan sampai kementerian lain masih belanja bibit dari pembenih lama yang kualitasnya tidak terjamin. Temuan BRMP harus dikerjasamakan dan dikembangkan oleh petani pembibit agar bibit yang dibagikan kepada petani betul-betul berkualitas,” ujarnya.

Dorong Ekspor Produk Olahan, Bukan Bahan Mentah

Dadang juga menegaskan pentingnya aturan tegas mengenai ekspor produk pertanian agar tidak keluar dalam bentuk mentah. Ia mencontohkan kelapa dan ubi yang selama ini masih diekspor dalam bentuk utuh.

“Kalau ekspor kelapa, jangan kelapanya yang digulung dan dikirim. Harus dalam bentuk tepung atau turunan lainnya. Begitu juga ubi, ekspor tepungnya, jangan ubinya. Di dalam negeri ada nilai tambah, ada limbah yang bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, dan ada lapangan kerja,” jelasnya.

Isu hilirisasi pertanian ini sejalan dengan arah kebijakan nasional yang menargetkan peningkatan nilai tambah produk pertanian hingga 40 persen pada tahun 2030.

Dorongan Penguatan Regulasi dalam RUU Pangan

Dadang memastikan bahwa seluruh temuan, masukan, dan data lapangan yang didapat di Bali akan dibawa ke dalam pembahasan Panitia Kerja (Panja) RUU Pangan. Ia menekankan bahwa revisi regulasi ini harus berfungsi sebagai fondasi baru bagi kedaulatan pangan Indonesia, termasuk: perlindungan terhadap produk pangan dalam negeri, kewajiban penggunaan bahan baku lokal dalam industri pangan, sinkronisasi riset pertanian nasional, penguatan hilirisasi dan larangan ekspor bahan mentah, serta insentif bagi industri yang menyerap hasil pertanian lokal.

“Kita ingin undang-undang ini menjadi payung yang kokoh untuk kemandirian pangan bangsa. Indonesia punya potensi besar, tinggal bagaimana kita memperkuat regulasi dan eksekusinya,” tutup Dadang. •ssb/rdn