Anggota Komisi III DPR RI, Martin D. Tumbelaka, saat mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik di Mapolda Jawa Barat, Bandung Jumat (21/11/2025). Foto: Andri/vel.
PARLEMENTARIA, Bandung — Komisi III DPR RI menegaskan komitmennya untuk memperkuat pengawasan sistem penegakan hukum nasional, khususnya di Provinsi Jawa Barat yang memiliki tingkat kerawanan kejahatan tinggi.
Dalam Kunjungan Kerja Spesifik di Mapolda Jawa Barat, Anggota Komisi III DPR RI, Martin D. Tumbelaka, menyampaikan apresiasi atas keberhasilan Polda Jawa Barat mengungkap kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terhubung dengan jaringan internasional, termasuk Singapura dan sejumlah negara lainnya.
Martin menyebut pencapaian tersebut sebagai prestasi yang layak dijadikan barometer dalam pemberantasan kejahatan serupa di seluruh Indonesia.
Menurut Martin, pengungkapan TPPO lintas negara bukan perkara mudah. Jaringan kejahatan ini memanfaatkan lemahnya pemahaman masyarakat terkait isu pembatasan kelahiran di negara tertentu, yang kemudian menjadi celah bisnis ilegal berkedok perekrutan tenaga kerja.
“Saya berharap semua Polda di Indonesia dapat melakukan langkah preventif-sistematis seperti yang sudah dijalankan Polda Jabar untuk memutus mata rantai perdagangan manusia yang semakin meresahkan masyarakat,” ungkap Martin dalam Kunjungan Kerja Spesifik di Mapolda Jawa Barat, Bandung Jumat (21/11/2025).
Selain TPPO, Komisi III juga menyoroti problem narkotika di Jawa Barat yang masih menjadi salah satu tantangan terbesar dalam penegakan hukum. Menurut data nasional, provinsi dengan kawasan industri padat seperti Jabar menjadi target potensial bagi jaringan peredaran gelap dan laboratorium rumahan narkoba.
Martin menilai Badan Narkotika Nasional (BNN) telah bekerja maksimal, namun membutuhkan dukungan anggaran dan persenjataan yang lebih memadai agar tetap kuat sebagai garda terdepan dalam perang melawan narkotika. “Tentu kami di Komisi III akan mendorong agar kemampuan operasional BNN semakin kuat ke depan,” tegasnya.
Provinsi Jawa Barat juga dihadapkan pada dinamika penegakan hukum lain yang kompleks, seperti kejahatan siber, judi online, kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta kasus pidana terkait sumber daya alam termasuk Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di wilayah DAS Citarum-Cimanuk-Cisadane.
Komisi III mencatat bahwa penyelenggaraan penegakan hukum harus bersifat prediktif, profesional, dan humanis, mengingat tingginya populasi dan aktivitas perekonomian di wilayah ini. Penyelamatan aset negara dan penegakan hukum berbasis bukti menjadi fokus pengawasan DPR terhadap Polda, Kejati, dan BNN.
Dalam forum bersama Polda Jabar, Kejaksaan Tinggi, dan BNNP Jawa Barat tersebut, Komisi III DPR turut memastikan kesiapan aparat penegak hukum dalam mengimplementasikan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru, menyusul pengesahannya pada Rapat Paripurna DPR RI pada 18 November 2025.
Regulasi yang mulai berlaku 2 Januari 2026 itu diharapkan meningkatkan profesionalisme penyidikan, penuntutan, hingga peradilan. Martin meminta agar penyidik, penuntut umum, dan hakim segera mendapatkan sosialisasi regulasi tersebut sebagai pedoman penegakan hukum yang jauh lebih kuat dan modern.
Dalam kegiatan tersebut, Komisi III mendalami isu-isu strategis melalui dialog dan evaluasi langsung bersama para pimpinan institusi penegak hukum. DPR menegaskan pentingnya koordinasi lintas lembaga, peningkatan kapasitas aparat, serta dukungan anggaran untuk menjadikan Jawa Barat sebagai wilayah dengan sistem penegakan hukum yang akuntabel, transparan, serta responsif terhadap ancaman kejahatan modern.
Komisi III berharap sinergi institusional yang kokoh dapat memperkuat kepastian hukum dan meningkatkan rasa aman masyarakat. “Kami mendorong semua langkah para penegak hukum agar terus ditingkatkan. Ini bagian dari kewajiban kita menjaga keadilan dan kedaulatan negara,” pungkas Politisi Fraksi Partai Gerindra ini. •man/rdn