Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, saat konferensi pers di Ruang Rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025). Foto: Mahendra/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menegaskan bahwa penyusunan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru bukan merupakan kehendak sepihak pemerintah atau DPR, melainkan hampir sepenuhnya bersumber dari masukan publik. Ia menyebut, 99 persen substansi KUHAP baru berasal dari aspirasi masyarakat, termasuk rekomendasi akademisi, lembaga bantuan hukum, hingga organisasi masyarakat sipil yang selama ini mengawal reformasi peradilan pidana.
“Kalau ada yang mengatakan KUHAP ini tiba-tiba muncul dan tidak mendengar masyarakat, itu salah besar. Hampir seluruh isinya adalah rumusan yang datang dari publik. Kita mengadopsi masukan dari berbagai kelompok, dari kampus, LSM, sampai praktisi hukum,” ujar Habiburokhman dalam konferensi pers di Ruang Rapat Komisi III, Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
Ia menegaskan bahwa Komisi III menjalankan proses pembahasan secara panjang dan terbuka, termasuk menerima masukan dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), The Indonesian Judicial Monitoring Society (MaPPI FHUI), LBH, akademisi fakultas hukum, dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Menurutnya, setiap pasal telah melewati uji publik, dialog, dan diskusi teknis sebelum diputuskan.
Dalam kesempatan tersebut, Habiburokhman juga meluruskan berbagai informasi menyesatkan yang beredar di media sosial. Salah satu isu yang paling banyak dipelintir adalah narasi bahwa KUHAP baru memperlonggar kewenangan aparat penegak hukum dalam penangkapan, penggeledahan, hingga penyitaan.
“Yang benar justru sebaliknya. KUHAP baru memperketat semua tindakan. Penggeledahan dan penyitaan kini wajib izin hakim, tidak bisa lagi dilakukan sembarangan. Dan itu semua berasal dari aspirasi masyarakat saat uji publik,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa hak tersangka juga diperkuat, termasuk keharusan pemberitahuan kepada keluarga, kejelasan bukti permulaan, serta persyaratan penahanan yang jauh lebih terukur. Menurutnya, semua itu merupakan tuntutan masyarakat sipil yang selama ini kritis terhadap praktik penyalahgunaan kewenangan.
Habiburokhman menegaskan bahwa Komisi III bekerja berdasarkan aspirasi masyarakat, bukan atas kepentingan institusi tertentu. Karena itu, ia meminta publik menilai dan mengkritisi KUHAP berdasarkan naskah resmi, bukan potongan poster atau unggahan yang bersifat provokatif.
“Kami terbuka terhadap kritik. Tapi kritik harus berdasar teks undang-undangnya. KUHAP ini lahir dari suara publik, dari berbagai masukan. 99 persen adalah aspirasi rakyat,” ujarnya.
Ia berharap KUHAP baru dapat menjadi fondasi kuat bagi reformasi peradilan pidana, meningkatkan perlindungan hak warga negara, dan menutup ruang penyalahgunaan kewenangan. “KUHAP ini bukan milik pemerintah atau DPR. Ini milik masyarakat. Ini karya bersama untuk mewujudkan keadilan,” pungkasnya. •fa/aha