E-Media DPR RI

Masalah Pinogu Cerminkan Persoalan Ribuan Desa Tanpa Kepastian Hukum dalam Kawasan Hutan

Wakil Ketua BAM DPR RI, Taufiq R Abdullah saat BAM DPR RI menggelar RDPU dengan Aliansi Pinogu Merdeka di ruang rapat BAM, Gedung DPR Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto : Andri
Wakil Ketua BAM DPR RI, Taufiq R Abdullah saat BAM DPR RI menggelar RDPU dengan Aliansi Pinogu Merdeka di ruang rapat BAM, Gedung DPR Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto : Andri


PARLEMENTARIA, Jakarta
 — Wakil Ketua Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI, Taufiq R. Abdullah, menilai persoalan enclave masyarakat Kecamatan Pinogu, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, hanyalah puncak dari persoalan nasional yang jauh lebih besar. Ia menyebut masih ada puluhan ribu desa di Indonesia yang hingga kini hidup di dalam kawasan hutan negara tanpa kepastian hukum.

Pernyataan itu disampaikan Taufiq saat BAM DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Aliansi Pinogu Merdeka di ruang rapat BAM, Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Pertemuan ini membahas aspirasi masyarakat Pinogu yang telah lama menetap di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, tetapi belum memiliki kepastian status wilayah dan hak pengelolaan lahan.

“Masalah Pinogu bukan satu-satunya. Ini hanya contoh kecil dari persoalan nasional yang besar. Tahun 2016 masih ada 27.000 desa di dalam kawasan hutan, dan sekarang sekitar 25.000 desa masih berstatus sama,” ujar Taufiq.

Menurutnya, banyak di antara desa-desa itu merupakan desa resmi hasil program transmigrasi yang dibuka oleh pemerintah sendiri pada masa lalu. Namun ironisnya, setelah kebijakan kehutanan berubah, desa-desa tersebut justru dikategorikan sebagai kawasan ilegal.

“Ada desa-desa yang dulunya dibuka secara resmi oleh negara melalui program transmigrasi. Sekarang mereka dianggap menempati kawasan hutan secara ilegal. Ini kesalahan sistemik yang harus kita akhiri,” tegas Legislator Fraksi PKB dapil Jawa Tengah VII.

Taufiq menilai kesalahan administratif seperti ini telah berlangsung selama puluhan tahun tanpa penyelesaian tuntas. Ia menyebut hal itu sebagai “dosa sejarah” negara terhadap masyarakat desa, yang harus segera ditebus melalui kebijakan nasional lintas kementerian.

“Kalau ini disebut kesalahan, maka ini adalah dosa negara. Jangan biarkan kesalahan administratif yang dibuat negara di masa lalu terus membebani rakyat sampai hari ini,” kata politisi yang juga akademisi itu.

Lebih lanjut, ia menekankan perlunya pendekatan nasional dan kebijakan serentak untuk menyelesaikan status ribuan desa tersebut. Ia mengingatkan bahwa penyelesaian tidak bisa dilakukan secara parsial atau kasus per kasus.

“Kita perlu keputusan formal dalam skala nasional. Bukan hanya rekomendasi, tapi kesepakatan antar-kementerian yang dituangkan dalam kebijakan resmi. Ini tidak bisa diselesaikan hanya di satu daerah, harus serentak,” ujarnya.

Taufiq menyebut contoh lain di luar Gorontalo, seperti di Bogor dan Sumatera Selatan, di mana banyak desa juga terjebak di kawasan hutan. Ia bahkan menyebut, di Kabupaten Bogor saja masih terdapat 70 desa yang masuk kawasan hutan, dan sebagian mengalami kondisi infrastruktur yang lebih buruk dari Pinogu.

“Di Bogor saja masih ada 70 desa yang berada di dalam kawasan hutan. Di Sumatera Selatan, saya lihat sendiri jalan desa lebih buruk dari di Pinogu — orang harus melompat-lompat menghindari lumpur,” tutur Taufiq.

Menurutnya, penyelesaian masalah Pinogu harus menjadi pemicu bagi pemerintah pusat untuk melakukan evaluasi total terhadap tata batas kawasan hutan di seluruh Indonesia. BAM DPR RI, kata dia, siap memfasilitasi rapat lintas kementerian agar kebijakan ini dapat disepakati bersama oleh KLHK, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ATR/BPN, dan Kementerian PU.

“Kalau pemerintah mau jujur, mereka pasti tahu ini bukan hanya soal Pinogu. Ini persoalan nasional, dan DPR akan dorong agar ada keputusan bersama yang mengakhiri ketidakpastian ribuan desa di kawasan hutan,” tegas Taufiq. •fa/rdn