Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, I Nyoman Parta dalam RDPU Penyusunan RUU tentang Perubahan Uu Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto : Septamares/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, I Nyoman Parta, menegaskan bahwa negara harus memberikan ruang seluas-luasnya bagi daerah untuk mengekspresikan kekhasan dan karakteristik masing-masing tanpa mengabaikan semangat persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal itu disampaikan Nyoman dalam RDPU Penyusunan RUU tentang Perubahan Uu Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Ia menilai bahwa semangat kekhususan dan keistimewaan daerah seperti Aceh, Papua, Yogyakarta, hingga Bali merupakan bagian dari keberagaman yang justru memperkaya bangsa Indonesia, bukan ancaman bagi persatuan nasional.
“Yang tidak boleh ditawar adalah tetap berada dalam kesatuan NKRI. Tetapi soal kelonggaran dan keleluasaan menjalankan identitas aslinya, negara harus memberi ruang seluas-luasnya,” tegas Nyoman.
Menurutnya, pendekatan pembangunan yang terlalu tersentralisasi, terutama dalam hal kewenangan dan perizinan, sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap karakteristik daerah. Ia menilai, pola sentralisasi yang kuat justru bisa mengikis keunikan sosial dan budaya yang menjadi ciri khas tiap daerah.
“Cara membangun sistem dengan sentralisasi itu akhirnya mengganggu, bahkan merusak kekhasan daerah-daerah di Indonesia,” ujarnya.
Lebih jauh, Nyoman menyoroti bahwa keberagaman Indonesia tidak hanya mencakup aspek etnis, agama, atau bahasa, tetapi juga mencakup cara pandang dan tata kelola budaya lokal. Ia menegaskan bahwa generalisasi kebijakan dari pemerintah pusat sering kali tidak sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat di daerah.
Ia mencontohkan, Bali sebagai daerah dengan kekayaan budaya dan sistem adat yang kuat, kerap menghadapi tantangan akibat kebijakan pusat yang tidak mempertimbangkan konteks lokal. Menurutnya, situasi serupa juga bisa terjadi di Aceh apabila revisi UUPA tidak berpihak pada pelestarian identitas daerah.
“Tidak boleh Jakarta atau negara membuat generalisasi terhadap pelaksanaan karakteristik kita masing-masing. Kalau itu terjadi, pasti ada implikasi negatif,” jelasnya.
Terakhir, legislator dari Fraksi PDIP ini pun menegaskan bahwa semangat desentralisasi dan pengakuan terhadap kekhasan daerah harus menjadi pijakan utama dalam pembahasan revisi UUPA. Menurutnya, hanya dengan cara itu, Indonesia bisa menjaga keseimbangan antara persatuan nasional dan penghormatan terhadap keberagaman lokal. “Kita ini memang beragam, dan justru di situlah kekuatan bangsa ini,” pungkasnya. •ujm/aha