Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto dalam rapat Panja Jaminan Kesehatan Nasional di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025). Foto : Septamares/Andri.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto menyoroti pentingnya ketersediaan dan mutu layanan kesehatan sebagai pilar utama dalam memperkuat sistem kesehatan nasional. Ia menilai, tantangan terbesar Indonesia saat ini adalah memastikan akses layanan kesehatan yang merata di tengah kondisi geografis yang luas dan jumlah penduduk yang besar.
Menurut Edy, ketimpangan layanan antara daerah maju dan terpencil masih menjadi pekerjaan rumah berat bagi negara. “Negara ini masih harus kerja keras untuk meningkatkan akses layanan kesehatan. Saya mengapresiasi pihak-pihak yang makin hari makin menyadari bahwa ini menjadi kewajiban bersama, baik pemerintah maupun swasta,” ujarnya dalam rapat Panja Jaminan Kesehatan Nasional di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025).
Ia menekankan bahwa sumber daya manusia (SDM) kesehatan merupakan faktor kunci dalam meningkatkan kualitas layanan, terutama di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun rujukan. Edy menyoroti masih banyak daerah yang memiliki fasilitas lengkap, tetapi kekurangan tenaga kesehatan yang mumpuni. Karena itu, ia mendorong agar transformasi pendidikan spesialis berbasis rumah sakit segera dikembangkan untuk mengatasi kekurangan dan ketimpangan sebaran SDM.
“Banyak rumah sakit daerah sebenarnya punya peluang besar memanfaatkan beasiswa bagi tenaga medis, tapi belum banyak yang mengoptimalkannya. Daerah perlu berkomunikasi dengan bupati atau wali kota agar tenaga kesehatan bisa dikirim belajar spesialis dan kembali ke daerahnya,” tambah Edy.
Selain SDM, ia menyoroti persoalan sarana dan prasarana kesehatan yang belum merata. Menurutnya, alokasi anggaran Kementerian Kesehatan perlu diarahkan untuk memperkuat rumah sakit tipe D dan C di daerah-daerah terpencil, bukan hanya membangun fasilitas besar di kota-kota besar. “Perlu dipikirkan matang, jangan sampai kita membangun rumah sakit besar bernilai triliunan, tapi daerah-daerah sulit justru kekurangan fasilitas dasar,” tuturnya.
Lebih lanjut, Edy juga menyoroti pentingnya inovasi layanan seperti home visit dan telemedicine yang sudah mulai diterapkan di layanan primer. Ia menilai, kebijakan pembiayaan perlu mendukung agar layanan home visit bisa masuk dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). “Banyak tindakan sederhana bisa dilakukan di rumah oleh tenaga kesehatan, tapi jika tidak ada pembiayaan, layanan itu tidak akan berkelanjutan,” jelasnya.
Selain itu, Edy menekankan perlunya penguatan peran Puskesmas dalam pelayanan paliatif agar pasien tidak selalu harus dirujuk ke rumah sakit. Ia mencontohkan praktik di Australia, di mana layanan kesehatan keliling dan home care sudah menjadi bagian dari sistem yang dibiayai oleh negara.
Di akhir paparannya, Edy menyoroti kesenjangan regulasi antara fasilitas kesehatan pemerintah dan swasta, termasuk kemudahan pendirian apotek desa dibandingkan apotek yang dikelola oleh apoteker profesional. “Regulasi harus adil. Jangan sampai implementasinya berbeda antara sektor pemerintah dan swasta, karena itu bisa mengancam keadilan bagi tenaga kesehatan,” pungkasnya. •gal/aha