Anggota Komisi XII DPR RI Beniyanto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI dengan Kepala SKK Migas dan 14 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025). Foto : Jaka/Andri
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi XII DPR RI Beniyanto menyoroti ketidaksesuaian antara struktur manajemen dan wilayah kerja (WK) Pertamina dalam upaya peningkatan lifting migas nasional. Menurutnya, hal ini perlu diperjelas agar tanggung jawab peningkatan produksi gas dapat berjalan lebih efektif dan terukur.
“Regulator dan operator ini berbeda. WK Pertamina EP ada di seluruh Indonesia, tapi secara manajemen hanya terpusat di Jawa Barat. Jadi yang ingin kita pastikan, tanggung jawab peningkatan lifting gas ini berdasarkan wilayah kerja atau berdasarkan manajemen Pertamina?” tanya Beniyanto di dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XII DPR RI dengan Kepala SKK Migas dan 14 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Rabu (12/11/2025).
Ia menilai, kejelasan tanggung jawab tersebut penting untuk mendukung arahan Presiden dalam memperkuat ketahanan energi nasional. Menurutnya, peningkatan lifting gas harus dibarengi dengan pembagian peran yang jelas antara wilayah operasi dan struktur manajemen.
Lebih lanjut, Beniyanto meminta agar SKK Migas dan Pertamina memberikan data lengkap terkait produksi minyak dan gas di setiap zona atau region, termasuk dari masing-masing KKKS. “Kalau kita tahu zona mana yang produksinya menurun, Komisi XII bisa melakukan kunjungan kerja untuk mencari penyebabnya secara langsung,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Beniyanto juga menyoroti permasalahan sertifikat tanah milik masyarakat di wilayah kerja JOB Tomori, Sulawesi Tengah, yang hingga kini belum dikembalikan setelah 13 tahun. Ia menyebut, terdapat 102 sertifikat yang masih tertahan sejak proyek pembangunan pipa migas dilakukan.
“Ini selalu jadi keluhan masyarakat di dapil saya. Ada 102 sertifikat yang belum dikembalikan sejak 13–14 tahun lalu. Pertanyaannya, ini tanggung jawab siapa? Pertamina EP atau region 4? Jangan sampai rakyat terus menunggu kepastian,” tegasnya.
Beniyanto menambahkan, kasus tersebut kerap menyulitkan masyarakat yang ingin menggadaikan sertifikat untuk tambahan modal usaha. Karena itu, ia meminta Pertamina segera menindaklanjuti penyelesaian masalah tersebut secara konkret.
Selain itu, Beniyanto juga menyoroti pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan migas di daerah. Ia meminta agar program CSR tidak bersifat sementara, melainkan berkelanjutan dan menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
“Di daerah saya, investasi besar sudah berjalan, tapi masyarakat sekitar belum merasakan manfaatnya secara nyata. Tolong CSR diarahkan untuk hal yang berkelanjutan, misalnya pembangunan pasar rakyat atau fasilitas ekonomi produktif,” tandas legislator asal Sulawesi Tengah itu.
Sebagai penutup, Beniyanto juga mengingatkan pentingnya pemberdayaan tenaga kerja lokal dalam proyek-proyek migas. Ia menilai, penempatan tenaga kerja dari luar daerah sering menimbulkan kendala komunikasi dan tanggung jawab administrasi di lapangan.
“Kalau rumah sumasnya dikelola anak daerah, tanggung jawabnya jelas. Jangan sampai pegawai pindah, tapi masyarakat yang dirugikan,” pungkas Politisi Fraksi Partai Golkar ini. wsp, gal/rdn