E-Media DPR RI

Yanuar Soroti Kekacauan Pengelolaan Royalti, Dorong Revisi UU Hak Cipta Prioritaskan Aspek Keperdataan

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Yanuar Arif Wibowo dalam RDPU bersama AKSI, VISI, dan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) yang digelar di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025). Foto : Geraldi/Andri.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Yanuar Arif Wibowo dalam RDPU bersama AKSI, VISI, dan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) yang digelar di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025). Foto : Geraldi/Andri.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 — Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Yanuar Arif Wibowo menilai sistem pengelolaan royalti musik di Indonesia masih carut-marut. Menurutnya, sistem tersebut perlu segera dibenahi melalui revisi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Yanuar juga menyoroti ketidakjelasan peran Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang kerap menimbulkan konflik antarpelaku industri musik. 

“Saya mengindikasikan ributnya penyanyi, pencipta, dan pihak terkait ini karena LMK, padahal tugasnya cuma tiga: memungut, menghimpun, dan mendistribusikan royalti. Mangkanya, LMK ini masih perlu apa enggak?” ujar Yanuar dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Vibrasi Suara Indonesia (VISI), dan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) yang digelar di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (11/11/2025).

Yanuar menegaskan, persoalan royalti seharusnya lebih ditekankan pada ranah keperdataan, bukan pidana. Ia juga meminta agar dilakukan moratorium terhadap somasi yang dilakukan LMK maupun LMKN terhadap pihak-pihak yang dianggap melanggar hak cipta hingga revisi undang-undang diselesaikan.

“Seringkali urusan royalti dan hak cipta ini sangat kuat keperdataannya. Oleh karena itu, saya meminta LMK untuk melakukan moratorium semua somasi kepada pihak mana pun,” tegasnya.

Lebih lanjut, Ia juga menyoroti perlunya penguatan Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM) sebagai basis transparansi dalam pemberian royalti kepada pencipta, penyanyi, maupun produser. Menurutnya, selama ini banyak pihak merasa tidak diuntungkan akibat ketidakjelasan mekanisme distribusi royalti.

“SILM seringkali diabaikan, padahal kata kuncinya ada di situ sebenarnya. Itu bisa menjadi basis pemberian royalti, baik bagi produser, pihak terkait, maupun penyanyi. (Hal) yang jadi soal selama ini adalah, bayar royaltinya ke siapa sih? Penyanyi merasa tidak diuntungkan, pencipta tidak diuntungkan, produser juga tidak diuntungkan. Jadi siapa sebenarnya yang diuntungkan dari ekosistem ini? Mangkanya perlu kita revisi, kita ingin pahamkan sejauh mana kita mengatur soal royalti ini,” jelasnya.

Selain itu, Yanuar juga mengingatkan agar revisi UU Hak Cipta mempertimbangkan perlindungan bagi pelaku usaha kecil, seperti warung kopi, kafe kecil, dan UMKM yang kerap khawatir dipidana karena memutar musik. 

“Kita ini negara Pancasila, kita punya kearifan lokal, negara kita sedang tumbuh, industri kecil kita juga tumbuh. Kekhawatiran UMKM pun kemarin merajalela di mana-mana, takut ketika memutar lagu itu dikenakan royalti. (Mereka) juga gak ngerti (royalti) ini untuk siapa,” ujar politisi Fraksi PKS tersebut.

Menutup pernyataannya, Yanuar menekankan bahwa revisi UU Hak Cipta harus memberikan ruang besar untuk keperdataan banyak pihak serta menghadirkan kepastian hukum dan ketenangan bagi seluruh pelaku industri musik. 

“Nanti kita bisa atur di peraturan yang lebih rinci. Bisa PP, bisa di peraturan menteri. Jadi kita perkuat perlindungan kepada pencipta, penyanyi, dan juga pihak-pihak terkait,” pungkasnya. •ecd,gal/aha