E-Media DPR RI

Penerapan Transisi Energi Indonesia Jangan Sampai Timbulkan Masalah Baru

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi saat memimpin agenda Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI bersama Kementerian ESDM di Gedung Nusantara I, Jakarta, Selasa (11/11/2025). Foto : Jaka/Andri.
Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi saat memimpin agenda Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI bersama Kementerian ESDM di Gedung Nusantara I, Jakarta, Selasa (11/11/2025). Foto : Jaka/Andri.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 — Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Bambang Haryadi menegaskan kebijakan penggunaan energi terbarukan seperti program B30 menuju B50 dan rencana implementasi E10 (etanol 10 persen) merupakan langkah positif mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar minyak (BBM). Namun, ia mengingatkan setiap kebijakan transisi energi dilakukan secara bertahap, komprehensif, dan terukur.

“Peningkatan B30 menjadi B50 dan rencana E10 itu kebijakan baik untuk mengurangi impor BBM dan memanfaatkan energi baru terbarukan. Namun, kita juga harus memitigasi seluruhnya secara komprehensif,” ujar Bambang saat memimpin agenda Rapat Dengar Pendapat Komisi XII DPR RI bersama Kementerian ESDM di Gedung Nusantara I, Jakarta, Selasa (11/11/2025).

Dirinya menyoroti, beberapa tahun terakhir, sejumlah kebijakan energi dari Kementerian ESDM sering kali menimbulkan kontroversi bukan karena substansinya, melainkan karena minimnya sosialisasi dan komunikasi publik. Ia mencontohkan kegaduhan yang sempat muncul terkait rencana pengawasan distribusi subsidi LPG 3 kilogram yang dinilai tidak tersampaikan dengan baik ke publik. 

Akibatnya, ia menilai memunculkan berbagai kesalahpahaman dan keresahan di masyarakat. “Kita tahu setiap kebijakan pemerintah itu tujuannya baik untuk masyarakat. Tapi kalau implementasinya tidak tepat, akhirnya terjadi kegaduhan-kegaduhan yang tidak penting. Ini yang tidak boleh diulang lagi,” tegasnya.

Tidak hanya itu saja, Bambang juga menyinggung kebijakan impor satu pintu melalui Pertamina yang sebenarnya bertujuan memperkuat BUMN energi, namun kembali menimbulkan resistensi karena kurangnya penjelasan dan mitigasi dari pemerintah. “Harus dilakukan sosialisasi. Karena trust publik itu berasal dari kualitas, baik dari sisi kebijakan maupun cara pemerintah menyampaikannya. Kalau tidak, mudah sekali digoreng di media sosial dan menimbulkan distrust,” kata legislator asal Fraksi Partai Gerindra itu.

Dalam rapat yang sama, Bambang menyoroti rencana pencampuran etanol ke dalam bahan bakar (E10) sebagai bagian dari strategi pemerintah mempercepat transisi energi. Ia mempertanyakan kesiapan ekonomi dan sumber bahan baku etanol yang diusulkan. 

Menurutnya, ide pemanfaatan etanol sebagai bahan bakar memang sejalan dengan arah kebijakan energi bersih, namun harus ditopang dengan studi kelayakan yang matang, baik dari sisi bahan baku, pasokan, hingga keekonomian produksi. “Apakah ide dari Kementerian ESDM itu sudah dikaji sedemikian rupa terkait nilai keekonomian? Jangan hanya kita bisa buat, tapi tidak bisa menjual. Atau kita paksa rakyat membeli dengan harga mahal,” ujarnya.

Dirinya pun mengungkapkan bahwa dirinya pernah meninjau langsung salah satu pabrik etanol di Lampung bersama Kementerian Perindustrian. Pabrik tersebut, jelasnya, menggunakan jagung sebagai bahan baku, namun produksi etanolnya diperuntukkan bagi industri farmasi dan pangan, bukan bahan bakar.

“Kami pernah datang ke pabrik etanol di Lampung. Mereka bisa produksi etanol dari jagung, tapi harganya tidak masuk kalau dipakai sebagai bahan bakar. Karena etanolnya food grade, untuk farmasi. Kalau dipakai untuk fuel, nilainya jauh lebih tinggi,” jelasnya.

Atas dasar itu pula, ia mempertanyakan apakah penggunaan jagung atau bahan pangan lain sebagai bahan baku etanol telah dikaji secara serius. Sebab, penggunaan jagung dalam skala besar berpotensi mengganggu pasokan pakan ternak nasional dan memicu kenaikan harga pangan. 

“Kita tahu sekarang kebutuhan pakan ternak sangat besar. Kalau jagung digunakan untuk etanol, apakah tidak akan memengaruhi rantai pasok pangan dan peternakan?” tanya Bambang.

Dirinya pun menekankan pentingnya peran Kementerian ESDM dalam melakukan mitigasi risiko kebijakan dan sosialisasi publik sebelum implementasi program energi baru. Ia menyebut kepercayaan publik (trust) tidak hanya bergantung pada niat baik pemerintah, tetapi juga pada kualitas kebijakan dan transparansi komunikasinya. 

“Sebelum melakukan kebijakan, dilakukan dulu sosialisasi kepada masyarakat sedemikian rupa, sehingga trust terhadap kebijakan itu bisa terbangun. Kalau tidak, masyarakat mudah termakan isu negatif seperti kemarin soal etanol yang katanya bisa merusak mesin,” jelasnya.

Selain itu, Bambang menegaskan, DPR RI mendukung sepenuhnya upaya pemerintah dalam pengurangan energi fosil dan pengembangan energi ramah lingkungan. Walaupun begitu, ia meminta agar setiap kebijakan tidak hanya dilihat dari sisi idealisme lingkungan, tetapi juga harus realistis secara ekonomi dan sosial. 

“Kami sepakat untuk mengurangi energi fosil dan beralih ke energi baru terbarukan. Tapi jangan sampai kebijakan itu malah mengganggu cabang produksi lain atau memberatkan masyarakat,” ujarnya.

Di sisi lain, Bambang juga menyinggung program B50 (campuran biodiesel 50 persen) yang saat ini tengah diuji coba. Ia menyebut bahwa di lapangan masih banyak keluhan dari masyarakat dan pelaku industri terkait kualitas dan performa bahan bakar biodiesel. 

“B50 ini kami banyak dapat keluhan. Apakah itu nyata atau tidak, itu tugas Kementerian ESDM untuk melakukan sosialisasi dan perbaikan kualitas. Tidak semua masyarakat menerima informasi dengan baik,” tegasnya.

Ia menambahkan, DPR tidak menolak kebijakan biodiesel dan bioetanol, namun meminta agar pemerintah tidak terburu-buru dalam eksekusi program, serta memastikan rantai pasok dan sumber bahan baku lokal benar-benar siap. “Niat baik untuk mengurangi energi fosil tidak akan jadi baik kalau nilainya atau harganya menjadi tinggi. Kita harus menyelesaikan masalah tanpa menambah masalah,” pungkas Politisi Fraksi Partai Gerindra itu. •um/aha