E-Media DPR RI

Skema Renegoisasi Jangan Hanya Selamatkan Whoos, tetapi untuk Perkuat Sistem Perkeretaapian Nasional

Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka saat mengikuti pertemuan Komisi VI dengan jajaran Direksi BP Danantara, KAI, dan KCIC di Bandung, Provinsi Jawa Barat, Jumat (7/11/2025). Foto: Tasya/vel
Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka saat mengikuti pertemuan Komisi VI dengan jajaran Direksi BP Danantara, KAI, dan KCIC di Bandung, Provinsi Jawa Barat, Jumat (7/11/2025). Foto: Tasya/vel

 

PARLEMENTARIA, Bandung – Anggota Komisi VI DPR RI Rieke Diah Pitaloka menegaskan bahwa penyelesaian persoalan pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) jangan hanya berfokus pada penyelamatan proyek semata, tetapi harus diarahkan untuk memperkuat sistem perkeretaapian nasional secara keseluruhan. Menurutnya, langkah Pemerintah mencari solusi terhadap beban keuangan KCIC harus disertai dengan pendekatan yang komprehensif dan mempertimbangkan kondisi BUMN yang terlibat di dalamnya.

Dalam kunjungan spesifik Komisi VI DPR RI ke kantor PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), Rieke menyampaikan bahwa pihaknya mendukung upaya Pemerintah mencari jalan keluar atas persoalan utang proyek Whoosh. Namun, ia mengingatkan agar perdebatan publik yang bersifat kontraproduktif, seperti narasi “proyek gagal” atau “proyek busuk”, harus segera dihentikan. Rieke menilai, yang dibutuhkan saat ini adalah solusi nyata untuk menata kembali struktur pembiayaan dan memastikan keberlanjutan proyek yang berorientasi pada kepentingan nasional.

“Kami setuju kita harus cari solusi setop perdebatan bahwa ini adalah proyek busuk atau bukan. Setop perdebatan apakah ini investasi sosial atau bukan (kalau) KRL itu investasi sosial. Ini saya kira orientasinya karena proyeknya juga lebih nuansanya bisnis ketika direncanakan,” ujar Rieke usai pertemuan Komisi VI dengan jajaran Direksi BP Danantara, KAI, dan KCIC di Bandung, Provinsi Jawa Barat, Jumat (7/11/2025).

Rieke menjelaskan, sejak awal proyek kereta cepat dikembangkan melalui skema konsorsium antara China Railway dengan empat BUMN besar, yakni PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN). Keempatnya tergabung dalam sinergi BUMN melalui PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia yang bertanggung jawab atas pembangunan termasuk mencari sumber pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. Meski demikian, saat ini sebagian besar BUMN tersebut tengah menghadapi tantangan keuangan yang signifikan, sehingga perlu dipertimbangkan ulang kemampuan mereka untuk menanggung beban tambahan.

“WIKA dan PTPN sedang restrukturisasi, tidak mungkin dibebankan lagi untuk menanggung bunga utangnya Whoosh dan bunga utang Whoosh ini bukan hanya bunga utang tapi di 2028 itu akan masuk dalam beban utang pokok. Lalu, Jasa Marga juga tidak bisa secara clear memutuskan akan berkontribusi dalam menanggung bunga utang setiap tahun dan pokok utangnya karena harus menunggu bagaimana langkah dari pemerintah. Ingat! Jasa Marga itu pegang jalan tol artinya juga tanggung jawabnya besar tidak bisa kemudian ini akhirnya akan berindikasi kolaps,” paparnya.

Rieke menambahkan, kondisi serupa juga terjadi pada PT KAI yang saat ini harus menanggung bunga utang sekitar Rp2 triliun per tahun. Padahal, KAI tengah berupaya membangun jalur transportasi baru yang lebih dibutuhkan masyarakat, termasuk jalur logistik untuk pertanian di Jawa maupun luar Jawa. Ia mengingatkan, KAI punya tanggung jawab besar membangun transportasi nasional dan jangan terbebani dengan fokus membayar utang proyek Whoosh.

“KAI juga demikian, akhirnya KAI harus menanggung bunga 2 triliun per tahun sementara jalur kereta api yang lebih dibutuhkan oleh rakyat Indonesia termasuk oleh petani. Itu sedang dirintis oleh KAI untuk mengadakan gerbong pertanian untuk membangun kereta api di Jawa dan juga di luar Jawa itu yang keinginannya Pak Presiden. Saya kira baik sekali begitu dan ini harus ada solusinya diambil oleh negara apakah skemanya melalui APBN atau dengan apa yang dilakukan oleh Danantara,” ujarnya.

Karena itu, Rieke mendorong agar Pemerintah segera menentukan skema penyelamatan yang paling tepat, baik melalui restrukturisasi, renegosiasi utang, maupun dukungan fiskal negara. Namun, ia menegaskan bahwa langkah tersebut tidak boleh hanya ditujukan untuk “menyelamatkan proyek kereta cepat”, melainkan untuk menyelamatkan sistem perkeretaapian nasional dan ekosistem ekonomi yang bergantung padanya.

“Restrukturisasi utang, renegosiasi itu penting. Tapi tidak dengan orientasi sekedar menyelamatkan kereta api cepat. Yang harus diselamatkan itu adalah perkeretaapian nasional untuk mem-backup ekosistem ekonomi nasional sehingga ketika mengambil keputusan untuk menyelesaikan persoalan utang kereta api cepat yang luar biasa kurang lebih total Rp116 atau dengan fluktuatif dolar ini nilai tukar rupiah mencapai 118 triliun,” tegasnya. •nap/rdn