E-Media DPR RI

Purnamasidi Desak Pemerintah Intervensi Beban Pendidikan Tinggi Lewat RUU Sisdiknas

Anggota Komisi X DPR RI Muhammad Nur Purnamasidi saat mengikuti Kunjungan Kerja Panitia Kerja (Panja) RUU Sisdiknas ke Universitas Jember, Provinsi Jawa Timur, Kamis (6/11/2025). Foto: Eko/vel
Anggota Komisi X DPR RI Muhammad Nur Purnamasidi saat mengikuti Kunjungan Kerja Panitia Kerja (Panja) RUU Sisdiknas ke Universitas Jember, Provinsi Jawa Timur, Kamis (6/11/2025). Foto: Eko/vel


PARLEMENTARIA
Jember – Anggota Komisi X DPR RI Muhammad Nur Purnamasidi menegaskan pentingnya Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) untuk menjawab tantangan berat yang tengah dihadapi perguruan tinggi di Indonesia, terutama dalam hal pembiayaan dan kesenjangan antar lembaga pendidikan tinggi. Hal ini disampaikan Purnamasidi usai Kunjungan Kerja Panitia Kerja (Panja) RUU Sisdiknas ke Universitas Jember, Provinsi Jawa Timur, Kamis (6/11/2025).

Menurutnya, berbagai masukan dari perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, mengerucut pada satu hal: semakin beratnya beban pengelolaan lembaga pendidikan tinggi tanpa dukungan intervensi yang memadai dari pemerintah.

“Perguruan tinggi merasa beban mereka makin berat. Sementara intervensi pemerintah untuk mengurangi beban itu belum terlihat. Padahal, ini bagian dari visi Indonesia membangun SDM unggul menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Purnamasidi.

Ia menambahkan, beban finansial tersebut mencakup biaya akreditasi program studi yang mencapai puluhan juta rupiah, hingga keterbatasan ruang untuk menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) karena sensitivitas publik terhadap isu kenaikan biaya pendidikan.

“Bayangkan, satu program studi bisa menghabiskan biaya lebih dari Rp50 juta untuk akreditasi. Kalau perguruan tinggi punya 10 atau 11 prodi, itu beban luar biasa. Tapi mereka juga tidak bisa menaikkan UKT karena langsung jadi isu nasional,” jelasnya.

Dorong Intervensi Anggaran

Politisi Partai Golkar ini menilai bahwa arah Revisi UU Sisdiknas harus memastikan adanya intervensi nyata dari pemerintah dalam bentuk alokasi anggaran yang proporsional untuk pendidikan tinggi

“Pilihannya hanya dua: pemerintah memberikan intervensi anggaran atau perguruan tinggi menaikkan UKT. Tapi menaikkan UKT akan menurunkan tingkat partisipasi kuliah, yang saat ini baru sekitar 32 persen secara nasional,” tegasnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi kasar pendidikan tinggi Indonesia memang baru mencapai 32,2% pada 2024, tertinggal dari negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia (43%) dan Thailand (49%). Kondisi ini menjadi tantangan besar dalam pencapaian visi Indonesia Emas 2045.

Kesenjangan Antar Perguruan Tinggi

Purnamasidi juga menyoroti kesenjangan sistemik antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN), Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dan Perguruan Tinggi Kedinasan (PTKL). Ia menjelaskan bahwa kesenjangan tersebut terjadi pada dua aspek utama: pembiayaan dan sistem penerimaan mahasiswa.

“Faktanya, PTKL mendapat alokasi anggaran lebih besar dibanding PTN, apalagi PTS. Dari sisi penerimaan, PTKL lebih diminati karena menjanjikan pekerjaan setelah lulus. Sementara PTN memperpanjang masa seleksi hingga berbulan-bulan, bahkan membuka jalur mandiri hingga tiga kali. Akhirnya PTS yang jadi korban,” papar Purnamasidi.

Data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mencatat, jumlah mahasiswa baru di PTS menurun signifikan dalam lima tahun terakhir. Beberapa kampus swasta di daerah bahkan mengalami penurunan hingga 50 persen jumlah mahasiswa baru.

“Kalau ini terus dibiarkan, PTS yang selama ini menjadi ujung tombak pendidikan tinggi di daerah akan tumbang. Padahal mereka punya peran strategis dalam memperluas akses pendidikan tinggi,” tambahnya.

Reformasi Anggaran Pendidikan

Lebih jauh, Purnamasidi menyoroti penggunaan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN yang menurutnya belum tepat sasaran. Ia mengusulkan agar dana pendidikan benar-benar diarahkan untuk kebutuhan substantif, bukan program non-pendidikan.

“Anggaran 20 persen itu seharusnya cukup kalau digunakan tepat sasaran. Tapi hari ini, ada program non-pendidikan yang ikut menyedot dana itu. Misalnya, program MBG 2026 mengambil Rp235 triliun dari anggaran pendidikan, padahal tidak berkaitan langsung dengan sistem pendidikan,” ungkapnya.

Ia menegaskan, jika struktur anggaran pendidikan disusun dengan jelas dan transparan, maka kebutuhan dunia pendidikan nasional seharusnya dapat terpenuhi.

“Kami di Komisi X sudah menghitung, kebutuhan pendidikan kita tidak sampai Rp500 triliun. Padahal anggaran pendidikan mencapai lebih dari Rp700 triliun. Jadi ini soal penataan dan keberpihakan,” pungkasnya.

Amandemen UU Sisdiknas

Kunjungan kerja Panja RUU Sisdiknas ke Universitas Jember ini merupakan bagian dari rangkaian uji publik dan dialog dengan berbagai pemangku kepentingan pendidikan. Amandemen ini diharapkan mampu melahirkan sistem pendidikan yang inklusif, berkeadilan, dan adaptif terhadap perubahan zaman, serta memperkuat tata kelola pendidikan tinggi nasional.

“RUU Sisdiknas bukan hanya bicara kurikulum, tapi bicara masa depan SDM bangsa. Karena itu, kita ingin undang-undang ini melindungi semua, baik PTN, PTS, maupun PTKL,” tutup Purnamasidi. •ssb/aha