Anggota Badan Legislasi DPR RI Habib Syarief Muhammad saat mengikuti rapat pleno Baleg DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025). Foto: Geraldi/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta — Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Habib Syarief Muhammad menyoroti kebijakan pemerintah yang menetapkan masa tunggu maksimal keberangkatan haji selama 26 tahun. Menurutnya, kebijakan ini meski bertujuan untuk pemerataan, justru menimbulkan ketimpangan baru karena mengurangi porsi kuota bagi provinsi dengan jumlah jemaah terbanyak seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah.
“Kita memahami tujuan pemerataan, tetapi kebijakan masa tunggu 26 tahun ini juga menimbulkan dampak bagi daerah-daerah padat jemaah. Misalnya Jawa Barat, yang semula memiliki jatah keberangkatan lebih besar, sekarang harus berkurang hingga sekitar 6 sampai 9 ribu jemaah,” ujar Habib Syarief saat ditemui Parlementaria usai rapat pleno Baleg DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Legislator Fraksi PKB itu menjelaskan bahwa pembatasan masa tunggu haji ini membuat sejumlah daerah kehilangan kesempatan keberangkatan bagi jemaah yang sudah lama mendaftar. “Ada provinsi yang semula punya daftar tunggu sampai 49 tahun, tapi sekarang dibatasi hanya 26 tahun. Memang secara nasional tampak lebih adil, tetapi bagi provinsi besar, ini terasa merugikan,” tambahnya.
Habib menekankan perlunya mekanisme yang lebih proporsional dalam penetapan kuota agar tidak ada daerah yang dirugikan. Ia juga mendorong pemerintah melakukan negosiasi dengan otoritas Arab Saudi untuk memperbesar kuota nasional, seiring rencana peningkatan kapasitas jemaah global dari 2,1 juta menjadi 5 juta pada tahun 2030. “Kalau Saudi meningkatkan kuota, itu bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk mempercepat masa tunggu. Tapi tentu harus disertai analisis dan diplomasi yang matang,” ucapnya.
Selain itu, Habib mengingatkan agar sistem kuota baru tidak memunculkan praktik “jalur cepat” bagi calon jemaah yang memiliki kemampuan finansial. Ia menilai praktik tersebut mencederai prinsip keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji. “Bayangkan, ada yang sudah berusia 70 tahun tapi harus menunggu 20 tahun, sementara yang berusia 30-an bisa langsung berangkat karena punya uang lebih. Hal seperti ini harus dihentikan,” tegasnya.
Menurut Habib, revisi Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji yang sedang dibahas menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola kuota dan mekanisme keberangkatan agar benar-benar transparan dan berkeadilan. Ia mendorong agar dalam pembahasan bersama pemerintah, prinsip prioritas bagi jemaah lanjut usia (lansia) dan jemaah berisiko tinggi (risti) dijadikan pedoman utama.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan skema prioritas, misalnya bagi yang sudah di atas 65 tahun agar diberi kesempatan lebih cepat. Jangan sampai keadilan kuota hanya bersifat administratif, tapi mengabaikan sisi kemanusiaan,” tandasnya. •fa/rdn