Anggota Komisi III DPR RI Safaruddin saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI bersama beberapa akademisi dan organisasi profesi hukum, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (6/11/2025). Foto: Oji/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Safaruddin menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) akan memperjelas batas dan parameter antara penyelidikan dan penyidikan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerancuan dalam penerapan hukum di lapangan sekaligus menjamin hak-hak masyarakat.
“Kita memang akan (menetapkan) suatu parameter atau indikator yang jelas (untuk membedakan) kapan sebetulnya (suatu perkara masih dalam tahap) penyelidikan dan setelah mendapatkan alat-alat bukti tambahan sehingga menjadi penyidikan. Itu harus jelas nanti,” ujar Safaruddin dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi III DPR RI bersama beberapa akademisi dan organisasi profesi hukum, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis (6/11/2025).
Menurut Safaruddin, penyelidikan pada dasarnya masih bersifat non-pro justitia, karena dalam tahap tersebut aparat penegak hukum baru mengumpulkan bukti awal untuk memastikan apakah terjadi tindak pidana. Sementara itu, penyidikan dilakukan ketika telah ditemukan setidaknya dua alat bukti yang cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Lebih jauh, Safaruddin menambahkan bahwa dalam beberapa kasus, tidak memungkinkan apabila proses penyelidikan hanya dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Menurutnya, hal ini sangat bergantung pada seberapa kompleks kasus yang diproses.
“Kemarin itu kita berdiskusi bahwa penyelidikan harus dibatasi 3 atau 6 bulan. Ya, memang maunya begitu, Pak. Tapi kan ada juga kasus-kasus yang kita tidak bisa berikan batas waktu penyelidikan seperti pembunuhan yang belum jelas pelakunya. Itu tidak bisa memakan waktu hanya 6 bulan. Kadang-kadang bertahun-tahun kalau ada bukti baru lagi,” tegasnya.
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan tersebut juga menegaskan, kejelasan batas antara tahap penyelidikan dan penyidikan ini penting untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan serta memastikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara dalam proses hukum.
“Kita akan membuat perumusan yang jelas, bagaimana sih kriteria-kriteria itu sehingga tidak ngawur. Jangan sampai baru satu alat bukti sudah ditetapkan jadi tersangka. (Misalnya) baru ditemukan satu alat bukti, tau-taunya ditetapkan sebagai tersangka. Artinya pasalnya pasal gregetan. Oleh karena itu, kita harus harus menjamin hak-hak masyarakat di situ,” pungkasnya. •ecd,gal/aha