Anggota DPR RI dari Dapil Banten III Okta Kumala Dewi. Foto : Ist/Andri.
PARLEMENTARIA, Jakarta — Di sebuah sudut tenang kawasan Citra Raya, Tangerang, aroma kopi berpadu dengan semangat perubahan. Sabtu (1/11/2025) siang itu, salah satu kafe yang berlokasi di Citra Raya menjadi saksi berkumpulnya puluhan guru dari Desa Talaga dan Talagasari, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tangerang. Mereka datang bukan sekadar untuk berbagi cerita, tapi untuk menyalakan kembali api inspirasi dalam dunia pendidikan.
Kegiatan bertajuk “Perempuan Menginspirasi, Guru Berdaya” ini digagas oleh PGRI Ranting Desa Talaga. Sebuah inisiatif sederhana namun sarat makna—mengangkat kembali peran perempuan dalam kepemimpinan dan memperjuangkan kesejahteraan guru, dua hal yang menjadi fondasi bagi pendidikan bermutu.
Hadir sebagai narasumber utama, Anggota DPR RI dari Dapil Banten III Okta Kumala Dewi, yang juga satu-satunya anggota perempuan DPR RI dari Dapil tersebut. Dengan tutur lembut namun penuh penekanan, Okta menyampaikan pesan kuat tentang pentingnya peran perempuan dalam pendidikan dan perjuangan kebangsaan.
“Saya di Komisi I memang bermitra dengan Kementerian Pertahanan dan lembaga strategis lainnya. Tapi sebagai wakil rakyat dari Banten III, saya merasa wajib memperjuangkan aspirasi masyarakat, termasuk di bidang pendidikan,” ujar Okta dalam sambutannya.
“Tanpa pendidikan yang kuat, kemajuan bangsa sulit tercapai,” tambahnya tegas.
Okta kemudian menuturkan kiprahnya dalam memperjuangkan akses pendidikan di Banten III melalui Program Indonesia Pintar (PIP) bagi siswa SD, SMP, hingga SMA. Ia menekankan bahwa komunikasi lintas komisi menjadi kunci dalam memastikan kebijakan pendidikan bisa dirasakan langsung oleh masyarakat di daerah.
Lebih dari sekadar program, Okta berbicara dengan hati ketika menyinggung soal kepemimpinan perempuan dalam dunia pendidikan. Ia mengingatkan kembali jejak langkah para tokoh perempuan pendidik—Raden Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan, hingga Maria Walanda Maramis—yang telah meletakkan dasar perjuangan pendidikan dari masa ke masa.
“Data nasional menunjukkan lebih dari 70 persen tenaga pendidik di Indonesia adalah perempuan. Di PGRI Ranting Desa Talaga saja, sekitar 80 persen anggotanya perempuan,” ujar Anggota Komisi I DPR RI ini.
“Ini membuktikan bahwa perempuan bukan hanya penerima manfaat pendidikan, tapi penggerak utamanya,” tambahnya.
Namun di balik semangat itu, masih tersisa pekerjaan besar, yaitu soal kesejahteraan guru. Okta mengutip data dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) yang menyebutkan lebih dari satu juta guru di Indonesia masih hidup di bawah standar layak hidup. Pemerintah, katanya, telah berupaya memperbaikinya melalui berbagai kebijakan—mulai dari peningkatan tunjangan profesi, rekrutmen ASN-PPPK, hingga program beasiswa pendidikan bagi 150 ribu guru non-S1 yang akan dimulai tahun depan.
“Guru adalah motor penggerak bangsa. Semua orang besar di negeri ini lahir dari didikan guru,” ujar Okta penuh empati.
“Karena itu, kesejahteraan guru harus menjadi prioritas utama agar mereka bisa mengajar dengan bahagia dan penuh dedikasi,” harapnya.
Turut hadir pula dua tokoh yang memperkaya diskusi: Sri Panggung Lestari, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Tangerang Komisi III, serta Ahmad Aziz Faozi, akademisi Universitas Cendekia Abditama. Keduanya menyoroti pentingnya kebijakan pendidikan yang inklusif, berkeadilan, dan berperspektif gender—menempatkan guru, terutama perempuan, sebagai garda terdepan perubahan sosial.
Sekitar seratus peserta, mayoritas perempuan guru dari wilayah Cikupa, larut dalam diskusi interaktif yang hangat. Mereka berbagi pengalaman, kegelisahan, dan harapan. Dari ruang kecil di Citra Raya itu, mengalir gagasan-gagasan besar: tentang bagaimana guru bisa lebih berdaya, lebih dihargai, dan lebih sejahtera.
Pada akhir acara, suasana berubah menjadi penuh optimisme. “Perempuan Menginspirasi, Guru Berdaya” bukan sekadar tema, melainkan semangat kolektif yang hidup di dada para pendidik. Sebuah langkah kecil dari Desa Talaga yang memberi gema besar bagi masa depan pendidikan Indonesia.
Dengan kolaborasi lintas sektor—antara wakil rakyat, pemerintah daerah, akademisi, dan guru—semangat pemberdayaan ini diharapkan menjadi bagian dari jalan panjang menuju cita-cita besar: mewujudkan pendidikan inklusif dan berkeadilan sosial menuju Generasi Emas Indonesia 2045. •ssb/rdn