
Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menyapa pasien saat meninjau pelayanan di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Selasa (7/10/2025). Foto: Galuh/vel.
PARLEMENTARIA, Palangkaraya – Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani menyoroti pentingnya perbaikan tata kelola komunikasi, manajemen, serta kesiapan sumber daya manusia (SDM) di RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Hal tersebut disampaikan Netty saat kunjungan kerja reses Komisi IX DPR RI ke RSUD dr. Doris Sylvanus di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (7/10/2025).
Dalam kunjungan itu, Netty mengungkapkan bahwa Komisi IX menemukan sejumlah persoalan yang akan menjadi bahan pembahasan dalam rapat kerja dengan Kementerian Kesehatan dan rapat dengar pendapat bersama BPJS Kesehatan. Salah satu temuan paling mencolok, menurutnya, adalah penumpukan pasien di area antrean obat dan pemeriksaan MRI.
“Satu hal yang sangat menonjol adalah tumpukan pasien yang menunggu antrean obat dan pemeriksaan MRI. Ini menjadi catatan penting bagi kami untuk disampaikan dalam rapat-rapat kerja dengan Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan,” ujar Politisi Fraksi PKS ini.
Menurutnya, persoalan tersebut menunjukkan perlunya perbaikan tata kelola komunikasi dan koordinasi antara rumah sakit dan BPJS Kesehatan agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam pelayanan.
“Rumah sakit ini harus membangun persepsi yang sama dengan BPJS. Dalam konteks pelayanan prima, sebetulnya tidak ada pembatasan jumlah pasien, hanya pengaturan waktu pelayanan. Misalnya dokter gigi melayani satu pasien sekian menit, maka kapasitas harian bisa dihitung dengan jelas,” jelas perempuan yang kerap disapa Netty Aher ini.
Netty mencontohkan adanya perbedaan pandangan terkait penggunaan alat MRI. Berdasarkan penjelasan dari pihak rumah sakit, alat tersebut hanya bisa melayani empat pasien per hari, sementara pihak Kementerian Kesehatan menyebut seharusnya mampu melayani hingga 24 pasien.
“Persepsi seperti ini harus disamakan agar pelayanan lebih efektif dan efisien,” tegasnya.
Selain itu, Netty menyoroti perlunya perbaikan manajemen antrean dan distribusi obat. Ia menilai antrean panjang di ruang farmasi bisa diurai dengan berbagai inovasi pelayanan, seperti pengantaran obat bagi pasien yang tinggal dekat rumah sakit atau penerapan sistem waktu tunggu yang lebih teratur.
“Mungkin bisa dibuat layanan antar obat bagi pasien yang berdomisili di sekitar rumah sakit, atau menggunakan sistem timer agar pasien tahu berapa lama harus menunggu, sehingga tidak menumpuk di satu tempat,” katanya.
Netty juga menyoroti pentingnya kesiapan RSUD dr. Doris Sylvanus dalam menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) yang akan diberlakukan pada Desember 2025.
“PLT Direktur menyampaikan bahwa beberapa ruangan sudah disiapkan untuk KRIS, hanya belum dioperasionalkan. Ini harus dipastikan agar siap ketika kebijakan mulai diterapkan,” ujarnya.
Terkait kondisi infrastruktur rumah sakit yang dibangun sejak tahun 1956, Netty menilai perlu dilakukan pembenahan menyeluruh. Ia menggambarkan struktur bangunan RSUD dr. Doris Sylvanus sebagai hasil pengembangan yang tidak terencana dengan baik.
“Kalau boleh saya sebut, ini bukan rumah sakit tumbuh kembang, tapi rumah sakit tambal sulam. Ketika ada kebutuhan, langsung bangun saja tanpa perencanaan yang menyeluruh. Akibatnya, ada gedung yang tidak sesuai tinggi standar atau alur pergerakan pasien,” ujarnya.
Menutup keterangannya, Netty menegaskan bahwa perbaikan tata kelola komunikasi, manajemen, dan pemenuhan SDM harus menjadi fokus utama agar pelayanan kesehatan di RSUD dr. Doris Sylvanus semakin optimal.
“Tiga hal yang perlu diperkuat adalah komunikasi dan koordinasi lintas pemangku kepentingan, manajemen internal, serta pemenuhan SDM. Ini penting untuk memastikan rumah sakit daerah bisa memberikan pelayanan yang layak dan berkeadilan bagi masyarakat,” tutup Netty. •gal/rdn