E-Media DPR RI

Heri Gunawan Soroti Implementasi Kebijakan ASN dan PPPK di Jawa Barat

Anggota Komisi II DPR RI Heri Gunawan saat pertemuan Kunjungan Kerja Reses Komisi II DPR RI ke Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jawa Barat, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/10/2025). Foto: Munchen/vel.
Anggota Komisi II DPR RI Heri Gunawan saat pertemuan Kunjungan Kerja Reses Komisi II DPR RI ke Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jawa Barat, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/10/2025). Foto: Munchen/vel.


PARLEMENTARIA, Bandung
 — Anggota Komisi II DPR RI Heri Gunawan menyoroti masih adanya berbagai persoalan dalam implementasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerah.

“Dari paparan kawan-kawan semua, saya jadi teringat saat pembahasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN yang waktu itu kita bahas bersama Kemenpan RB dan pihak terkait. Namun, kenyataannya, penerapan undang-undang tersebut di lapangan masih menimbulkan banyak kebingungan, terutama dalam pelaksanaan teknis di daerah,” ungkap Hergun dengan sapaan akrab, disampaikan saat pendalaman di pertemuan Kunjungan Kerja Reses Komisi II DPR RI ke Kantor Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jawa Barat, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (4/10/2025).

Legislator Fraksi Partai Gerindra ini juga menyoroti kurangnya sosialisasi terkait proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di tingkat kabupaten/kota. Ia menyebut, banyak masyarakat yang belum memahami prosedur pendaftaran, posisi yang dibutuhkan, maupun tahapan tes yang harus dilalui.

“Sekarang kan sosialisasi bisa melalui media sosial. Supaya masyarakat punya gambaran. Jangan sampai akhirnya banyak pelamar yang mundur karena tidak sesuai dengan penempatan bidangnya. Itu kan terjadi,” tandasnya.

Selain itu, Hergun juga mengungkapkan persoalan di sektor kesehatan yang menurutnya menjadi contoh nyata ketimpangan implementasi kebijakan. Ia mengungkapkan bahwa banyak dokter muda enggan bekerja di rumah sakit pemerintah karena gaji yang rendah namun dengan beban kerja tinggi.

“Akibatnya, mereka lebih memilih membuka klinik estetik yang dinilai lebih menguntungkan. Sementara di rumah sakit daerah, tenaga medis semakin terbatas, bahkan di beberapa daerah tidak ada dokter sama sekali. Ini menunjukkan perlunya evaluasi serius terhadap sistem rekrutmen dan kesejahteraan tenaga kesehatan,” ujarnya.

Hergun menilai kondisi tersebut menunjukkan adanya persoalan struktural dalam tata kelola tenaga kesehatan, pendidikan, dan aparatur sipil negara. Ia menyebut kebijakan yang seharusnya bersifat strategis kerap terhambat oleh kepentingan politik daerah dan lemahnya koordinasi antarinstansi. Ia juga menegaskan, rendahnya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang reformasi birokrasi menjadi indikator perlunya perbaikan menyeluruh.

“Berdasarkan survei ISC, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Menpan RB hanya mencapai 46 persen. Ini menjadi sinyal bahwa masih banyak pekerjaan rumah dalam perbaikan sistem kepegawaian nasional,” terang Hergun.

Menutup keterangannya, Hergun mendorong adanya langkah konkret untuk memperkuat koordinasi antara Kemenpan RB, BKN, dan pemerintah daerah. Ia menilai hal tersebut penting dilakukan melalui sosialisasi yang masif serta evaluasi terhadap aplikasi dan mekanisme perekrutan ASN dan PPPK yang selama ini belum berjalan efektif.

“Koordinasi dan sinergi harus diperkuat agar kebijakan ASN benar-benar mampu menjawab kebutuhan daerah dan meningkatkan profesionalisme aparatur negara,” tutupnya. •mun/aha