
Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih. Foto: Tari/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyoroti kelemahan serius dalam tata kelola cagar budaya di Indonesia. Menurut pria yang akrab disapa Fikri ini, kegagalan dalam menyediakan riset yang memadai dan kerangka regulasi yang kokoh membuat kekayaan budaya nasional terancam hancur dan tidak mampu bersaing dengan situs global.
Fikri lantas membandingkan pengelolaan cagar budaya di Indonesia, seperti Borobudur, dengan situs dunia seperti Hagia Sophia atau Aya Sofia di Turki dan Alhambra di Spanyol. Ia menyebut situs global berhasil menciptakan narasi keunggulan yang didukung riset berbiaya tinggi, sehingga menghasilkan pendapatan finansial yang besar.
“Situs global berhasil menciptakan narasi keunggulan yang membuat cagar budaya menjadi aset yang bernilai jual dan menghasilkan pendapatan finansial yang besar,” ungkap Fikri dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, di Jakarta, Minggu (5/10/2025).
Ia mencontohkan, kunjungan wisatawan ke Aya Sofia jauh melampaui batas kunjungan Borobudur (1.200 orang/hari) yang dibatasi demi konservasi. Fikri menekankan, tanpa riset yang cukup, narasi kekayaan budaya hanya akan menjadi sekadar slogan.
Dalam konteks cagar budaya di Indonesia, Fikri menyoroti dua masalah utama pada kerangka regulasi dan anggaran. Dari dua masalah tersebut kemudian dijabarkan menjadi sejumlah poin.
Yang pertama, kata dia, mandat hukum yang tidak dijalankan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengamanatkan pembentukan Badan Pengelola di Pasal 97, tetapi amanat ini tidak pernah dilaksanakan selama 15 tahun (hingga 2025). Kondisi ini menciptakan kelemahan tata kelola yang serius.
Yang kedua, imbuhnya, adalah kewenangan pemerintah daerah kabur. Tidak adanya mandat formal yang kuat dari pusat membuat Pemerintah Daerah (Pemda) sulit untuk membentuk Dinas Kebudayaan atau mengalokasikan anggaran.
“Akibatnya, banyak Pemda menggabungkan Dinas Kebudayaan dengan dinas lain. Kelemahan kewenangan ini berdampak pada intervensi daerah. Fikri mencontohkan Pemda bahkan tidak berani mengalokasikan anggaran untuk perbaikan kecil seperti pagar atau lampu di situs cagar budaya (misalnya Gedong Songo) karena takut menjadi temuan BPK,”jelas legislator Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) ini.
Berikutnya yang ketiga, adalah anggaran yang tidak proporsional. Menurut dia, alokasi anggaran untuk Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) dinilai tidak proporsional dan cenderung menurun. Anggaran BPK yang mengelola 23 unit di seluruh Indonesia, yang seharusnya diperkuat dengan tenaga ahli, justru dikabarkan terus menurun.
Selain itu, Fikri juga mendesak agar konsep daya dukung dan daya tampung lingkungan (carrying capacity) menjadi pengarusutamaan dalam konservasi. Ia memperingatkan bahwa tanpa kajian teknokratis yang rinci, cagar budaya akan hancur akibat eksploitasi berlebihan.
“Pelestarian cagar budaya wajib disertai dengan rencana daya dukung dan daya tampung lingkungan (carrying capacity). Tanpa adanya rencana tersebut—atau kajian teknokratis yang lebih rinci seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau konsep Ecoregion—cagar budaya akan hancur,” tegas Fikri.
Ia menekankan, perlu ada keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan prinsip konservasi, di mana pembatasan jumlah pengunjung (seperti di Borobudur) merupakan salah satu upaya menjaga daya dukung lingkungan.
Fikri mendesak agar masalah kewenangan ini segera diselesaikan, termasuk dengan memberi masukan kepada Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), agar Pemda memiliki peran dan peduli terhadap eksistensi budaya. •rdn