
Anggota Komisi VI DPR RI GM Totok Hedisantosa saat mengikuti Kunjungan Kerja dalam rangka meninjau Perkembangan Industri Gula dan Ketahanan Pangan, di Surabaya, Jawa Timur Jumat (3/10/2025). Foto: Runi/vel
PARLEMENTARIA, Surabaya – Anggota Komisi VI DPR RI GM Totok Hedisantosa menyoroti persoalan peredaran gula rafinasi yang kerap merembes ke pasar konsumsi masyarakat. Padahal, sesuai aturan, gula rafinasi hanya diperuntukkan bagi kebutuhan industri.
Politisi Fraksi PDI-Perjuangan ini menegaskan bahwa kebutuhan gula nasional sebenarnya dapat tercukupi dari produksi dalam negeri. Namun, masalah utama terletak pada mekanisme pasar dan distribusi yang belum memberikan keuntungan memadai bagi petani.
“(Produksi) gula kita sebenarnya tercapai. Problemnya, petani belum mendapat benefit yang baik dari pertaniannya. Ditambah lagi, gula rafinasi yang seharusnya untuk industri malah merembes ke pasar rakyat karena lebih murah,” ujarnya saat mengikuti Kunjungan Kerja dalam rangka meninjau Perkembangan Industri Gula dan Ketahanan Pangan, di Surabaya, Jawa Timur Jumat (3/10/2025).
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa impor gula untuk kebutuhan industri masih diperbolehkan, tetapi harus melalui asesmen data kebutuhan yang jelas agar kuotanya tidak berlebihan.
“Impor untuk industri silakan, karena kita memang belum bisa memenuhi sepenuhnya. Tetapi kuotanya harus jelas berdasarkan asesmen kebutuhan industri. Jangan kebutuhan hanya 4 ton tapi diimpor 10 ton, itu akhirnya sengaja masuk ke pasar,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah diminta memperhatikan penggunaan anggaran peningkatan produksi gula yang nilainya cukup besar, di mana pemerintah saat ini melalui melalui Badan Pengelola Investasi Danantara menyiapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun dari BUMN Pangan, untuk menyerap gula kristal putih (GKP) petani yang menumpuk di gudang akibat isu impor gula dan produk etanol.
Dana tersebut disalurkan ke BUMN pangan seperti ID Food dan Sinergi Gula Nusantara (SGN) untuk membeli gula petani, menjaga agar harga gula tetap stabil di atas Rp 14.500 per kg, dan meningkatkan semangat petani tebu. Menurutnya Totok anggaran tersebut sah-sah saja digunakan, asalkan akuntabel dan berdampak pada produktivitas.
“Apapun yang dilakukan dengan dana besar, asal bisa dipertanggungjawabkan dan produktif, tidak masalah. Jangan sampai dana besar dikeluarkan tapi tidak meningkatkan produksi,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya peningkatan rendemen tebu. Rendemen yang rendah membuat hasil gula tidak optimal. Karena itu, ia mendorong PTPN dan lembaga terkait untuk aktif memberikan pelatihan serta penelitian agar petani mampu menanam tebu dengan baik di tengah perubahan iklim.
“Kalau rendemen terlalu kecil, hasilnya pasti kurang baik. Maka perlu ada litbang di PTPN dan institusi lain untuk membantu petani. Jangan semua disalahkan ke perubahan iklim, harus ada solusi konkret,” tandasnya. •rni/rdn