
Anggota Komisi X DPR RI, Juliyatmono, saat RDPU Panja Pelestarian Cagar Budaya Komisi X dengan sejumlah Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) di Indonesia, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025). Foto: Tari/vel.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi X DPR RI, Juliyatmono, menyuarakan kritik tajam terkait dampak Undang-Undang Cagar Budaya, khususnya pada wilayah yang menjadi zona cagar budaya. Berdasarkan pengalamannya menjabat Bupati Karanganyar selama 10 tahun, Juliyatmono menyatakan bahwa desa-desa yang masuk dalam cakupan cagar budaya mayoritas menjadi tertunda pembangunannya, miskin, dan sulit bersaing.
“Lingkungan cagar budaya mayoritas tertinggal, miskin, makin primitif, hampir tidak bisa bersaing,” ujar Juliyatmono, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Pelestarian Cagar Budaya Komisi X dengan sejumlah Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) di Indonesia, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Ia mencontohkan pengalamannya di Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar, di mana tujuh dari 13 desa di kecamatannya masuk dalam wilayah cagar budaya. Juliyatmono mengkritik keras sikap Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) yang selalu berpegang teguh pada undang-undang dan menolak intervensi pembangunan.
“Saya tanya, kontribusi sampai terhadap wilayah ini apa? Ini tanah SHM milik masyarakat. Enggak boleh dipakai apapun. Sampai makin lama, makin tertinggal,” katanya.
Melihat kondisi tersebut, Juliyatmono mendesak agar Undang-Undang Cagar Budaya segera direvisi. Ia mengusulkan agar wilayah cakupan cagar budaya dipersempit dan tidak diperlebar. “Saatnya undang-undang itu direvisi, wilayah itu ayo mulai dikurangi. Jangan diperlebar,” tegasnya.
Menurutnya, cakupan yang terlalu luas tanpa diikuti dana yang memadai membuat situs tidak terawat dan lingkungan sekitarnya tidak bisa diberdayakan. Juliyatmono menyarankan agar fokus diletakkan pada satu wilayah berdekatan (misalnya satu desa) yang dioptimalkan bersama-sama oleh pemerintah daerah, pusat, dan provinsi sebagai destinasi wisata yang memadai.
Ia juga mencontohkan kasus di Solo, di mana sebuah bangunan cagar budaya yang digunakan sebagai MAN (Madrasah Aliyah Negeri) nyaris roboh tetapi tidak ada pihak yang berani menyentuh karena takut pidana. “Ini kalau ambruk, siapa yang tanggung jawab? Kepala daerah enggak berani, Saya enggak punya dana, terus suruh ngapain ini? Nunggu robohnya?” tanyanya.
Juliyatmono berharap DPR melalui Panja Pelestarian Cagar Budaya dapat mengubah cara pandang dalam mengelola cagar budaya menjadi kecil tapi sejahtera. Ia menekankan bahwa warisan budaya harus ditata ulang dengan pendekatan yang baru, berempati, dan memberi harapan kepada masyarakat di sekitarnya. •bia/rdn