E-Media DPR RI

Tumpang Tindih Kewenangan dan Minim Inovasi, Pemerintah Perlu Selamatkan Cagar Budaya Inovasi

Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto : Dok/Andri.
Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih. Foto : Dok/Andri.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Komisi X DPR RI menyoroti sejumlah masalah krusial dalam tata kelola cagar budaya nasional, mulai dari kurangnya nilai pendidikan hingga tumpang tindih kewenangan. Hal ini didiskusikan dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Cagar Budaya di ruang rapat Komisi X DPR RI, baru-baru ini. Anggota Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menegaskan bahwa pelestarian cagar budaya wajib dilengkapi dengan data dokumen daya dukung dan daya tampung lingkungan (carrying capacity).

“Tanpa adanya dokumen tersebut atau kajian teknokratis yang lebih rinci seperti Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau konsep Ecoregion, maka cagar budaya akan hancur,”kata pria yang akrab disapa Fikri ini dalam keterangannya kepada Parlementaria, di Jakarta, Senin (28/9/2025).

Selain itu, legislator Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari daerah pemilihan (dapil) IX Jawa Tengah (Kota Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes) ini menyoroti tiga sisi utama yang perlu dibenahi.

“Pertama, sisi pendidikan dan nilai. Cagar budaya menjadi kurang diminati jika nilai pendidikannya tidak dihadirkan. Alasan mendasar suatu situs ditetapkan sebagai cagar budaya harus dieksplorasi dan dijadikan bahan ajar untuk mendidik generasi penerus,”paparnya.

Yang kedua, kata dia, dari sisi ekonomi dan inovasi. Fikri menyebut adanya persepsi bahwa budaya merupakan cost center (pusat biaya) yang membebani. 

“Tanpa adanya inovasi, cagar budaya kehilangan maknanya dan dipertanyakan keberlangsungannya. Kata kunci dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah “Pemajuan”, yang berarti cagar budaya tidak boleh hanya dinikmati atau dikonservasi saja,” jelas dia.

Berikutnya yang ketiga, imbuh Fikri, Adalah tata kelola dan kewenangan daerah. Masalah utama yang terjadi adalah kebingungan dan tumpang tindih kewenangan. Fikri mencontohkan kasus Candi Gedong Songo, di mana Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan untuk perbaikan fasilitas. 

“Begitu pula kasus Borobudur, di mana pengelolaan sepenuhnya dipegang oleh pusat, sementara masyarakat termiskin di Kabupaten Magelang justru berada di sekitar Borobudur, dengan pemanfaatan ekonomi hanya sebatas menjadi tukang parkir atau pedagang asongan,”jelasnya.

Dengan berbagai persoalan ini, Fikri mendesak agar masalah kewenangan ini segera diselesaikan, termasuk dengan memberi masukan kepada Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), agar Pemerintah Daerah memiliki peran dan peduli terhadap eksistensi budaya.

“Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya juga mengamanatkan adanya Badan Pengelola yang melibatkan multi-level pemerintahan, namun amanat ini belum terlaksana dan menjadi sumber masalah yang perlu segera diselesaikan,” pungkasnya. •tn/rdn