
Anggota Komisi VI DPR RI Kawendra Lukistian saat RDP Komisi VI DPR RI dengan jajaran direksi PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT. Inalum, dan PT Vale Indonesia Tbk di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025). Foto : Hans/Andri.
PARLEMENTARIA, Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI Kawendra Lukistian menyoroti sejumlah persoalan serius yang melibatkan perusahaan-perusahaan tambang milik negara. Dirinya menegaskan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan informasi di tengah masih banyaknya persoalan yang mencuat ke publik.
Demikian hal ini disampaikan dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR RI dengan jajaran direksi PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), dan PT Vale Indonesia Tbk di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (29/9/2025). Mengawali intervensinya, ia menyinggung kasus kebocoran pipa distribusi air bekas operasional PT Vale Indonesia di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, yang sempat menimbulkan keresahan masyarakat.
“Ini jangan sekadar berlindung di balik narasi mitigasi. Perbaikan harus menyeluruh, terbuka, dan bila ada kesalahan harus ada punishment. Sebaliknya, kalau ada kebaikan juga perlu apresiasi,” tegas Kawendra.
Ia bahkan menyarankan agar perusahaan tersebut menerapkan mekanisme reward and punishment di tingkat operasional agar kinerja tetap fokus dan tidak abai. Tidak henti, dirinya juga mengusulkan mengusulkan adanya “program pipa transparan”, yakni sebuah dashboard digital real-time yang bisa diakses publik untuk memantau kondisi integritas pipa, status inspeksi, hingga penggunaan anggaran dan kompensasi.
Tak hanya Vale, Kawendra juga mengulik temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyoroti potensi kerugian PT Inalum sebesar Rp146,11 miliar dalam transaksi proyek aluminium alloy dengan PT PASU. Sebab itu, ia meminta klarifikasi tindak lanjut perusahaan terhadap peringatan tersebut.
Di sisi lain, ia turut menyoroti lambannya percepatan pembangunan smelter grade alumina refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat, yang dianggap krusial untuk hilirisasi bauksit. Dirinya juga mempertanyakan soal keunggulan biaya listrik Inalum yang memiliki PLTA sendiri di Danau Toba, dengan pembangkit Gura-Gura dan Tangga.
“Kalau listriknya murah, harusnya produksi dan keuntungan bisa lebih optimal. Tapi faktanya capaian produksi belum maksimal,” ujarnya.
Pun, sorotan tajam lainnya diarahkan ke PT Antam terkait keterbatasan stok emas batangan yang beredar di masyarakat. Kawendra mengaku menerima banyak keluhan bahwa stok emas sulit dicari, hanya sekitar 20 persen dari kebutuhan pasar.
“Ini jangan sampai ada permainan. Stok ditahan, menunggu harga naik. Kalau begini, bisa menyumbang inflasi besar-besaran,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menilai lemahnya kontrol Antam atas rantai distribusi emas. Dari total produksi sekitar 43 ton, hanya 30 persen yang dikuasai langsung Antam untuk didistribusikan lewat butik resmi, sementara 70 persen dikuasai wholesaler mitra. Hal ini, menurutnya membuat publik sulit mengakses emas dengan harga dan ketersediaan yang wajar.
Kawendra mengingatkan seluruh manajemen Antam agar memperbaiki komunikasi publik.
“Komunikasi itu penting. Jangan hanya dengan pimpinan, tapi juga dengan kami yang mewakili rakyat. Jangan sampai BUMN selalu terbebani dosa masa lalu. Kita perbaiki bersama dengan keterbukaan. Kita tidak mau perusahaan negara terus terjebak dalam stigma buruk. Buka komunikasi, buka data, dan pastikan publik percaya bahwa BUMN ini bekerja untuk kepentingan rakyat” tegas Politisi Fraksi Partai Gerindra itu. •um/rdn