31 July 2025
Politik dan Keamanan

Komisi II Dorong Penguatan GTRA untuk Selesaikan Konflik Agraria di Daerah

  • Juli 30, 2025
  • 0

Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinnizamy Karsayuda, saat melakukan kunjungan kerja Komisi II DPR RI ke Ternate, Maluku Utara, Senin (28/7/2025). Foto: Nadya/vel.
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinnizamy Karsayuda, saat melakukan kunjungan kerja Komisi II DPR RI ke Ternate, Maluku Utara, Senin (28/7/2025). Foto: Nadya/vel.


PARLEMENTARIA, Ternate
 – Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinnizamy Karsayuda, menegaskan pentingnya optimalisasi Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) di seluruh daerah sebagai langkah strategis dalam menyelesaikan konflik-konflik agraria, mempercepat legalitas tanah adat, dan menata sistem pertanahan nasional. Hal ini disampaikannya saat melakukan kunjungan kerja Komisi II DPR RI ke Ternate, Maluku Utara, Senin (28/7/2025).

Dalam pernyataannya, Rifqi menyoroti lambannya proses perda tanah adat di berbagai kabupaten/kota sebagai salah satu penyebab konflik lahan yang berlarut-larut. Ia menekankan bahwa dengan adanya peraturan daerah (Perda) sebagai landasan legal formal, Kementerian ATR/BPN akan memiliki dasar kuat untuk memberikan pengakuan terhadap tanah-tanah adat.

“Kenapa konflik agraria sering muncul? Karena di mata negara, alas hak tanah adat itu belum ada secara legal formal. Itu sebabnya GTRA di daerah harus bekerja aktif, memetakan, memitigasi, dan mengambil langkah kebijakan yang berpihak pada masyarakat,” jelas Rifqi.

GTRA merupakan forum lintas sektor yang beranggotakan unsur pemerintah pusat dan daerah, aparat penegak hukum, hingga OPD terkait. Ketua GTRA secara otomatis dipegang oleh kepala daerah, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Dengan model ini, pemerintah berharap tata kelola pertanahan menjadi lebih terkoordinasi dan responsif terhadap dinamika lokal.

“Banyak bangunan di daerah tidak punya HGB atau masa HGB-nya habis. Kementerian ATR punya datanya, tapi tak bisa serta-merta bertindak. Harus melibatkan penegak hukum. GTRA menjembatani koordinasi ini secara persuasif,” lanjut Rifqi.

Ia menambahkan, apabila GTRA berjalan efektif, negara tidak hanya memperoleh kepastian hukum atas aset tanah, tetapi juga meningkatkan penerimaan negara dari sektor pertanahan. Komisi II DPR RI, kata Rifqi, akan terus memantau dan mengambil inisiatif untuk mengkoordinasikan lintas kementerian dan lembaga jika diperlukan.

“Kami sudah mengundang 39 gubernur, termasuk Ibu Sherly Laos, ke Komisi II untuk menyampaikan berbagai persoalan. Sebagian besar masalah sudah mulai kami tindaklanjuti satu per satu dengan kementerian teknis,” tambahnya.

Rifqi mengajak seluruh kepala daerah untuk bersabar dan memberi waktu pada struktur GTRA yang baru terbentuk untuk bekerja. “Ini masih awal. GTRA baru dibentuk tahun ini. Beri waktu satu-dua tahun. Saya yakin semua kepala daerah punya niat baik untuk rakyat,” pungkasnya.

Menanggapi hal tersebut, Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos, menyatakan komitmennya untuk mengoptimalkan GTRA di tingkat provinsi. Ia mengungkapkan bahwa hingga saat ini, baru sekitar 30 persen lahan di Maluku Utara yang bersertifikat, sementara sisanya masih terkendala keterbatasan anggaran dan sumber daya teknis.

“Torang punya PR besar. Baru 30 persen tanah bersertifikat. Kalau bisa ada penambahan anggaran dan bantuan teknis dari pusat, saya yakin progresnya bisa lebih cepat,” ungkap Sherly.

Sebagai Ketua GTRA Provinsi Maluku Utara, Sherly menyambut baik penjelasan dan arahan Komisi II DPR RI. Ia menilai koordinasi dengan Kantor Wilayah BPN akan lebih mudah dan jelas dengan adanya payung GTRA.

“Dengan GTRA, kita jadi satu tim. Pemerintah daerah, pusat, dan BPN bekerja bersama untuk melegalitaskan tanah masyarakat. Tujuannya satu: kesejahteraan rakyat,” tegasnya.

Sebagai informasi, GTRA dibentuk secara nasional pada Mei 2025 oleh Pemerintah Pusat sebagai amanat percepatan reforma agraria yang terintegrasi. Pembentukan GTRA bertujuan untuk menyatukan berbagai elemen lintas sektor agar tata ruang dan pertanahan di Indonesia dapat ditata lebih baik, responsif terhadap masyarakat adat, serta mampu mengurangi konflik agraria yang terus meningkat di berbagai daerah. •ndy/aha

EMedia DPR RI