18 July 2025
Industri dan Pembangunan

Jaring Masukan LSM, Komisi IV Tekankan Tata Kelola Lestari dan Berkeadilan di RUU Kehutanan

  • Juli 18, 2025
  • 0

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Ahmad Yohan saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Ruang Rapat Komisi IV, Selasa (15/7/2025). Foto: Oji/vel.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Ahmad Yohan saat memimpin Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Ruang Rapat Komisi IV, Selasa (15/7/2025). Foto: Oji/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Komisi IV DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) guna menjaring masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Dalam forum tersebut, Komisi IV mengundang berbagai organisasi lingkungan dan masyarakat sipil, antara lain WALHI, AMAN, WWF Indonesia, Auriga Nusantara, Working Group ICCAs Indonesia (WGII), HUMA, Greenpeace Indonesia, Forest Watch Indonesia, dan Forum Dialog Konservasi Indonesia. Kehadiran para penggiat ini diharapkan dapat memperkaya substansi RUU agar lebih komprehensif, berkeadilan, dan menjawab tantangan kehutanan masa kini.

Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Ahmad Yohan menyatakan bahwa UU No. 41 Tahun 1999 telah menjadi dasar tata kelola hutan selama lebih dari dua dekade. Namun, perubahan zaman dan kompleksitas persoalan kehutanan saat ini menuntut adanya penyempurnaan regulasi.

“Hutan sebagai salah satu penyangga kehidupan manusia di bumi membutuhkan pengurusan dan pengelolaan yang dilakukan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menjaga kelestariannya untuk generasi mendatang yang mencakup aspek ekologi, ekonomi serta sosial budaya,” tegas Yohan di Ruang Rapat Komisi IV, Gedung Nusantara, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/7/2025).

Ia juga menyoroti bahwa Indonesia telah kehilangan 33,9 juta hektare hutan dalam 50 tahun terakhir, dan 28,4 juta hektare di antaranya terjadi dalam dua dekade terakhir. Angka deforestasi tersebut disebutnya sebagai kerugian yang sangat besar, sehingga perlu ada respon cepat dan menyeluruh dalam bentuk revisi regulasi kehutanan nasional.

“Komisi IV DPR RI memandang perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan terhadap materi pengaturan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kami ingin RUU ini menjadi regulasi yang komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan hukum dalam penyelenggaraan kehutanan, baik saat ini maupun di masa yang akan datang,” jelas Yohan.

Politisi Fraksi Partai Amanat Nasional ini menjelaskan bahwa RUU perubahan atas UU 41/1999 ini sebelumnya telah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR RI melalui Rapat Paripurna pada 17 November 2024, dan masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2025.

Isu-isu strategis yang menjadi pertimbangan revisi antara lain adalah degradasi dan deforestasi hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan yang mengedepankan landscape approach, penyesuaian dengan putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengakuan hutan adat, keterbatasan data kehutanan yang terintegrasi, serta kebutuhan pengaturan tentang penyelesaian sengketa kehutanan.

Anggota Komisi IV DPR RI, Darori Wonodipuro, menggarisbawahi pentingnya pembaruan perspektif dalam UU Kehutanan. Ia menjelaskan bahwa selama ini UU 41/1999 hanya menitikberatkan pada fungsi lindung dan produksi, tanpa memuat secara eksplisit aspek sosial kehutanan.

“Sekarang alhamdulillah Komisi IV merevisi Undang-Undang 41. Kenapa direvisi? Karena dalam undang-undang itu hanya fokus pada hutan lindung dan hutan produksi. Fungsi sosialnya belum ada,” ujar Darori.

Darori juga menyinggung tentang ketidakterlibatan DPR dalam persetujuan pemanfaatan kawasan hutan strategis pasca berlakunya UU Cipta Kerja. Ia mencontohkan kasus di Raja Ampat, di mana izin kawasan hutan keluar tanpa sepengetahuan Komisi IV DPR.

“Di Undang-undang 41 ada klausul bahwa setiap penggunaan kawasan cakupan luas dan penting harus persetujuan Komisi IV DPR RI. Itu dihapus di UU Cipta Kerja. Jadi sekarang ada kejadian Raja Ampat, hutan lindung keluarin izin, kita nggak tahu,” ungkap Darori yang juga merupakan anggota Badan Legislasi DPR RI.

Oleh sebab itu, ia meminta agar masukan dari para LSM tidak hanya fokus pada aspek teknis, namun juga mempertimbangkan perspektif politik, sosial, dan budaya masyarakat, khususnya masyarakat adat. Dirinya juga menekankan pentingnya keterlibatan publik secara partisipatif dalam proses penyusunan regulasi ini.

“Saya ingin masukannya, baru kita susun undang-undangnya. Setelah disusun, kita bicara lagi. Betul nggak? Jadi teman-teman sudah memberi masukan kepada Komisi IV DPR RI, DIM-nya akan kita buat, akan kita buka, mana yang menurut Anda perlu diperbaiki. Yang jelas bagaimana cita-cita kita: hutannya lestari, rakyat sejahtera,” tutup Darori.

Melalui RDPU ini, Komisi IV DPR RI berharap RUU Kehutanan yang disusun dapat menjawab tantangan tata kelola hutan secara komprehensif dan berkeadilan. Dengan kolaborasi para pemangku kepentingan, regulasi ini diharapkan mampu mewujudkan hutan yang lestari dan rakyat yang sejahtera. •uc/rdn

EMedia DPR RI