KUHAP Lama Tidak Beri Keadilan, Revisi UU Harus Prioritaskan Hak Warga Negara
- Juni 20, 2025
- 0
PARLEMENTARIA, Jakarta – Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman menilai, KUHAP yang berlaku saat ini belum mampu memberikan keadilan yang seimbang antara negara dan warga negara. Hal ini ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Study Club RHS Fakultas Hukum Universitas Indonesia, BEM Universitas Lampung, dan BEM Universitas Bandar Lampung di Gedung DPR RI terkait masukan mengenai pembahasan revisi UU KUHAP.
“Menurut saya yang paling penting saat ini adalah kita merasakan KUHAP yang ada sekarang ini memang sangat sulit untuk memberikan keadilan pada warga negara,” ujar Habiburokhman saat memimpin RDPU di Ruang Rapat Komisi III, Gedung Nusantara II, DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Maka dari itu, ia menegaskan pentingnya keberpihakan terhadap warga negara dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut Habiburokhman, proses penyusunan undang-undang selalu melibatkan beragam aspirasi yang tidak selalu sejalan. Dalam situasi itu, ia menilai penting untuk memilah prioritas.
“Yang paling urgen, kurang apa, tidak begitu urgen, dan seterusnya, prioritasnya,” imbuh Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.
Lebih lanjut, Habiburokhman menyoroti ketimpangan relasi antara negara dan warga dalam sistem hukum acara pidana yang ada. Ia menyatakan bahwa negara yang diwakili oleh penyidik, penuntut, dan hakim terlalu dominan dibanding posisi warga negara yang menjalani proses hukum.
“Kewenangan State begitu powerful, warga negara begitu less power,” tandasnya. Oleh karena itu, Komisi III memprioritaskan penguatan posisi warga negara dalam KUHAP yang baru.
“(Warga) yang tadinya enggak paham hukum harus didampingi oleh kuasa hukum dan kuasa hukum yang tadinya enggak berdaya supaya lebih berdaya ketika mendampingi orang yang bermasalah dengan hukum,” tegasnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pasal-pasal dalam draf KUHAP baru banyak yang dirancang untuk menguatkan hak-hak tersangka, termasuk peran advokat dalam sistem peradilan pidana.
Namun, ia mengingatkan bahwa perdebatan soal relasi antar-lembaga penegak hukum tidak boleh menghambat proses revisi yang lebih substansial.
“Kalau ada hal yang terlalu rumit terkait dengan ego institusi, maka pengaturan pemindahan kewenangan dari institusi ke institusi lain akan memperlama ini proses,” ujarnya.
Menurut dia, semakin lama revisi KUHAP disahkan, maka akan semakin banyak rakyat kecil yang menjadi korban ketidakadilan.
“Makin lama kita menyelesaikan revisi KUHAP ini, semakin banyak rakyat kecil, rakyat susah, orang susah yang mendapat ketidakadilan,” tegasnya.
Menanggapi idealisme para mahasiswa dalam diskusi, ia mengakui bahwa undang-undang tidak pernah bisa sempurna.
“Tidak ada satu undang-undang pun yang sempurna, yang bisa mengakomodir semua keinginan semua orang,” katanya.
Terkait kontroversi hukuman mati dalam KUHAP, ia menjelaskan bahwa secara praktik Indonesia sudah tidak menerapkan eksekusi tersebut.
“Saya bilang, saya sepakat bahwa hukuman mati itu melanggar HAM. Tapi de facto Indonesia sudah tidak punya hukuman mati,” ungkapnya.
Ia menyebutkan bahwa sistem probasi memungkinkan hukuman mati tidak dijalankan jika terpidana menunjukkan kelakuan baik selama masa percobaan.
Lebih lanjut, ia menekankan urgensi untuk menyelesaikan revisi KUHAP tanpa terus terjebak pada satu pasal yang menghambat keseluruhan proses.
“Mengapa kita membiarkan rakyat menunggu, (untuk) menikmati KUHAP baru yang sekian ratusan pasal yang bagus itu, karena kita tidak selesai-selesai masalah hukuman mati ini,” katanya.
“Itulah realitas penyusunan undang-undang di sini, teman-teman,” pungkasnya. •hal/rdn