29 May 2025
Politik dan Keamanan

Benny Utama Soroti Batas Penyelidikan dalam RUU KUHAP

  • Mei 27, 2025
  • 0

Anggota Komisi III DPR RI Benny Utama saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Senin (26/5/2025). Foto: Jaka/vel.
Anggota Komisi III DPR RI Benny Utama saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Senin (26/5/2025). Foto: Jaka/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 – Anggota Komisi III DPR RI Benny Utama menegaskan pentingnya pembaruan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), terutama dalam mengatur batas waktu penyelidikan beserta gelar perkara prosesnya. Hal ini disampaikan Benny saat mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember.

“Penyelidikan harus diberi jangka waktu yang pasti agar tidak ada ketidakpastian hukum. Mekanisme penghentian penyelidikan juga perlu diatur dengan jelas, misalnya ketika tidak cukup bukti permulaan,” ujar Benny saat rapat, Jakarta, Senin (26/5/2025).

Ia menyoroti praktik pengembalian berkas perkara atau yang kerap disebut P18-P19, yang menurutnya perlu dibatasi. “Proses bolak-balik berkas itu menciptakan ketidakpastian hukum. Kita harus atur mekanismenya, termasuk batas maksimalnya,” tegasnya.

Selain itu, Benny menyoroti pentingnya mengatur gelar perkara di tahap penyelidikan. Menurutnya, gelar perkara harus melibatkan unsur-unsur yang relevan seperti penasihat hukum, jaksa, hingga ahli, sebagai bentuk transparansi dan keadilan dalam proses hukum.

Dalam konteks pembaruan hukum, Benny juga menekankan pentingnya mengadopsi prinsip restorative justice yang menurutnya sudah lama hidup di tengah masyarakat Indonesia. Ia mencontohkan praktik hukum adat di Sumatera Barat, pelaku pelanggaran susila bisa dikenai sanksi adat seperti dibuang dari kampung tanpa harus dipidana secara formal.

“Restorative justice itu sudah lama ada di masyarakat kita, hanya belum diatur secara konkret dalam KUHAP. Ini yang harus kita tegaskan: pidana-pidana mana saja yang bisa diselesaikan dengan mekanisme RJ,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa living law seperti hukum adat dan kebiasaan masyarakat harus mendapat tempat dalam KUHAP yang baru. “Kita ingin mereduksi dan menyelaraskan seluruh nilai hukum yang hidup di masyarakat agar menjadi bagian dari sistem hukum nasional,” katanya.

Di akhir, Benny menegaskan bahwa KUHAP yang sedang disusun harus menjadi “karya agung” yang tidak hanya modern, tapi juga berakar pada kearifan lokal. “Waktu kita masih ada untuk menyempurnakan ini. Mari kita rumuskan KUHAP yang benar-benar berpihak pada keadilan masyarakat Indonesia,” pungkasnya. •hal/aha

EMedia DPR RI