23 May 2025
Industri dan Pembangunan

Pangan Adalah Hidup Matinya Bangsa, Johan Rosihan Desak Peran Negara Lebih Kuat

  • Mei 22, 2025
  • 0

Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan dalam Forum Legislasi bertajuk DPR Segera Bahas RUU Pangan Untuk Mendukung Program Pemerintah, di Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Foto: Jaka/vel.
Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan dalam Forum Legislasi bertajuk DPR Segera Bahas RUU Pangan Untuk Mendukung Program Pemerintah, di Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025). Foto: Jaka/vel.


PARLEMENTARIA, Jakarta
 — Anggota Komisi IV DPR RI Johan Rosihan menegaskan pentingnya pembaruan regulasi pangan guna memperkuat kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Menurutnya, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sudah tidak lagi relevan dengan tantangan zaman, terutama setelah terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja yang menggeser orientasi penyelenggaraan pangan dari kedaulatan dan kemandirian menjadi sekadar ketersediaan.

“Kalau kita mengutip Bung Karno, pangan adalah hidup matinya suatu bangsa. Maka, negara tidak bisa menyerahkan urusan pangan ke mekanisme pasar. Negara harus hadir untuk melindungi rakyat dan memastikan ketersediaan pangan yang layak dan bergizi,” tegas Johan dalam Forum Legislasi bertajuk “DPR Segera Bahas RUU Pangan Untuk Mendukung Program Pemerintah”, di Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/5/2025).

Ia menyoroti lemahnya sanksi dalam UU Pangan saat ini terhadap ketergantungan impor, serta minimnya keberpihakan kepada petani dan produsen dalam negeri. Johan juga mengkritik praktik impor pangan yang masih sangat tinggi, seperti pada komoditas kedelai, gula, daging, dan bawang putih, meski mengakui adanya kemajuan pada komoditas beras dan jagung sejak pemerintahan baru berjalan.

“Ketergantungan pada impor menghancurkan insentif produksi domestik. Kita perlu strategi yang konkret, bukan sekadar retorika politik, untuk mewujudkan swasembada,” katanya.

Johan juga mendorong agar revisi UU Pangan memuat batasan kuantitatif dan prosedur ketat terhadap kebijakan impor. Ia menekankan pentingnya grand design yang mencakup empat pilar strategis: produksi yang berdaulat dan berkelanjutan, distribusi yang adil dan terkendali, konsumsi yang menjamin pangan lokal dan bergizi, serta cadangan pangan nasional yang tangguh dan mandiri.

Ia mengusulkan agar penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nasional dan daerah wajib mendapat persetujuan prinsip dari Kementerian Pertanian untuk menjamin keberlanjutan lahan pertanian.

Terkait distribusi, Johan menilai reformasi sistem logistik nasional mutlak dilakukan. Bulog harus diperkuat fungsinya sebagai off-taker utama dengan kuota penyerapan hasil petani yang lebih besar dan fleksibel, bukan hanya terbatas pada cadangan beras pemerintah (CBP) sebesar 3 juta ton seperti saat ini.

“Kalau hari ini Bulog hanya bisa menyerap sekitar 3 juta ton dari total produksi 19 juta ton, lalu bagaimana nasib 16 juta ton hasil panen petani lainnya? Ini harus kita benahi,” tandasnya.

Johan juga membuka wacana pembentukan Kementerian Pangan sebagai solusi penguatan kelembagaan, dengan integrasi fungsi Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) di bawah satu komando teknis yang jelas dan terstruktur.

“Yang terpenting, negara hadir dan memimpin dalam urusan pangan. Ini bukan soal bisnis, tapi soal konstitusi dan tanggung jawab negara dalam melindungi seluruh rakyat Indonesia,” tutupnya. •ssb/aha

EMedia DPR RI